Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minyak, Kutukan bagi Nigeria

Kompas.com - 22/01/2012, 03:06 WIB

Terry Lynn Karl, penulis buku The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-States, mengatakan, hal itu merujuk pada kasus Venezuela.

Dapatkah kutukan itu diubah menjadi berkat? Malaysia, Norwegia, dan Mauritius dikatakan bisa melakukan itu.

Tampaknya Presiden Jonathan juga sudah jengkel dengan fenomena minyak sebagai kutukan. ”Dia ingin melakukan sesuatu dan untuk itu dia siap ketimbang tidak melakukan sama sekali,” kata Clement Nwankwo, Ketua Pusat Kebijakan dan Advokasi Hukum, di Lagos, Jumat (20/1).

Dia pun melakukan hal yang membuat rakyat marah. Dia menaikkan harga minyak untuk 167 juta jiwa rakyat yang kebanyakan hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Kenaikan ini dianggap sebagai tindakan membunuh mereka. Negara kaya minyak ini tidak memiliki kegiatan lain yang cukup berarti di luar sektor migas. Rakyat di negara ini juga tidak memiliki aliran listrik yang memadai.

Para demonstran bertanya mengapa anggota parlemen diberi penghasilan lebih dari 1 juta dollar AS per tahun. Mereka menggugat mengapa gaji anggota parlemen yang tinggi itu tidak cukup mendorong mereka memberangus praktik korupsi.

Kenaikan harga minyak lewat kebijakan Presiden Nigeria memunculkan adrenalin demonstran. ”Kami tidak akan menyerah,” ujar Julius Godstime (36), seorang teknisi di Lagos, ibu kota bisnis Nigeria. ”Warga sudah mau mati. Warga sudah menderita,” katanya.

Aksi protes yang berlangsung sejak 9 Januari itu juga menarik perhatian sejumlah warga terkenal Nigeria, termasuk anak-anak pemusik legendaris Fela Kuti.

Generasi baru berani

Keberanian warga juga muncul karena mereka merasa kini telah mempunyai kekuatan lebih. Generasi baru melihat diri mereka sebagai pemilik kekuasaan. Hal itu membuat mereka lebih berani.

Sebelum tahun 1999, warga Nigeria yang dipimpin para jenderal hanya sedikit berharap dari para pemimpin mereka yang korup dan diktatoris. ”Kini, warga menyadari bahwa mereka telah mempunyai kekuatan,” kata Thompson Ayodele dari Initiative for Public Policy Analysis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com