Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis

Kompas.com - 08/12/2011, 04:32 WIB

Husein Haikal menggambarkan demokrasi ala Mubarak ibarat kolam ikan yang kering, tak ada air dan ikan di dalamnya. De- mokrasi tanpa ideologi, sistem, dan pemerintahan demokratis.

Kini, demokrasi di Mesir memasuki babak baru. Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi tampil sebagai kekuatan yang meyakinkan dalam panggung politik pascarevolusi. Meski demikian, Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang pemilihan umum tak akan mudah melaksanakan misinya mengawal demokrasi.

Sejak pengumuman hasil pemilu putaran pertama, Ikhwanul Muslimin sudah mendapatkan penolakan dari kaum salafi. Pertentangan kubu Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi bermula pada 1980-an ketika Ikhwanul Muslimin masuk ke ranah politik praktis dan bermetamorfosis menjadi partai politik. Kaum salafi mengeluarkan fatwa ”kafir” terhadap Ikhwanul Muslimin.

Adapun kaum salafi pada masa itu memilih setia pada rezim yang berkuasa. Beberapa tokoh salafi yang menentang keras Ikhwanul Muslimin adalah Abu Ishaq al-Huwayni, Nasiruddin al-Albani, dan Moqbil al-Wadi’i. Mereka menentang keras langkah yang diambil Ikhwanul Muslim dalam ranah politik praktis.

”Parlemen Lapangan Tahrir”

Pertentangan Ikhwanul Muslimin dengan kaum salafi berlanjut setelah pemilihan umum parlemen putaran awal. Pasalnya, Ikhwanul Muslimin menegaskan bahwa mereka tak tertarik dengan isu formalisasi syariat dalam konstitusi baru Mesir.

Mereka justru akan fokus pada upaya membangun solidaritas kebangsaan dan memperbaiki sektor ekonomi yang turun drastis sejak revolusi berlangsung. Essam el-Arian (2011), salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin, dalam tulisannya di harian Guardian menegaskan bahwa pihaknya memilih menjaga momentum demokrasi sebagai jembatan untuk membangun perekonomian dan merestorasi kekuatan Mesir di dunia Arab.

Bahkan, Ikhwanul Muslimin menyampaikan ketaktertarikannya pada agenda politik formalistik kaum salafi. Mereka cenderung memilih melanjutkan koalisi yang dibangun dengan faksi moderat, liberal, dan kiri dengan payung ”koalisi demokratis” daripada berkoalisi dengan kaum salafi.

Langkah yang diambil Ikhwanul Muslimin cukup taktis karena ingin memberikan garansi kepada kaum muda yang telah berjasa mewujudkan revolusi. Tanpa peran kaum muda yang berhasil mengguling rezim totaliter Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin tak menikmati kue kekuasaan di parlemen.

Maka dari itu, Ikhwanul Muslimin harus mengikuti kehendak ”parlemen Lapangan Tahrir”, yang dalam setahun terakhir dimotori kaum muda yang tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu. Salah satu agenda yang harus dijawab oleh Ikhwanul Muslimin ialah perihal peralihan kekuasaan dari militer ke sipil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com