Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Sunan Kalijaga

Kompas.com - 19/08/2011, 03:14 WIB

Tokoh bernama asli Raden Sahid (diperkirakan hidup di Demak, Jawa Tengah) itu adalah arsitek budaya Islam Jawa. Terlepas dari mitos atau legenda yang menyertai, dia telah meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat yang harmonis, produktif, dan kreatif di antara berbagai kelompok yang berbeda suku, bahasa, dan keyakinan. Dari tangan wali yang seniman ini, tumbuh wajah Islam kultural: moderat, lentur, dan menyerap beragam ekspresi budaya lokal.

Bukan hanya lakon wayang, dia juga diyakini sebagai pencipta tembang ”Lir Ilir” yang terkenal itu. Tradisi tahlilan, sulukan, sedekah bumi, bahkan arsitektur masjid yang bernuansa Jawa juga kerap dikaitkan dengan spirit dakwahnya.

Beragam ekspresi budaya lokal tak diharamkan, tetapi justru dikembangkan menjadi berwajah baru dengan menyisipkan nilai-nilai kearifan agama. Sebagian tradisi itu masih terus dijadikan sumber inspirasi masyarakat hingga sekarang.

Mau buktinya? Mari kita tengok Kampung Sorowajan dan Plumbon di Banguntapan, Kabupaten Bantul. Masyarakat di kawasan sebelah timur-selatan dari pusat Kota Yogyakarta itu termasuk majemuk. Meski sebagian besar penduduknya Muslim, kelompok agama lain bebas menjalankan keyakinan dan ibadah, seperti Hindu, Buddha, Katolik, dan Kristen.

Di tengah kampung, ada Masjid Al Muhtadin dan madrasah ibtidaiyah. Di depannya, ada Pura Jagatnatha, milik kaum Hindu. Beberapa warung Bali berjejer di dekatnya. Tak jauh dari situ, ada SD Kanisius dan SD Muhammadiyah.

Berbagai kelompok agama itu hidup rukun, bahkan punya tradisi doa bersama. Setiap menjelang bulan puasa, rutin digelar nyadranan atau semacam kenduri massal. Setiap keluarga datang ke balai dusun sambil membawa ambengan berisi makanan, lauk, jajanan, beserta ubo rampe lainnya.

Setelah berkumpul, dilantunkan doa bersama oleh setiap tokoh agama sesuai tata cara dan bahasa agamanya sendiri-sendiri. ”Ambengan tadi lantas ditukar-tukar. Sebagian dimakan di tempat, sisanya dibawa pulang,” kata Sularto, Kepala Dukuh Sorowajan.

Saat perayaan hari keagamaan, masyarakat leluasa memberi selamat atau berkunjung. Lebaran, Natal, Kuningan, dan Galungan menjadi momen untuk mempererat silaturahim. Pernah beberapa kali muncul sedikit gesekan, tetapi selalu bisa dipecahkan dengan kembali merujuk pada semangat saling pengertian. ”Rukun itu membuat hidup lebih enak,” kata Achir Murtiadiwiyono, Pinandeta Pura Jagatnatha. Bahkan, lelaki itu ikut membangun Masjid Al Muhtadin di belakang pura.

Kampung Sorowajan cukup bisa mewakili semangat Islam kultural di Jawa. Meski mungkin tak dicatat resmi, sebenarnya harmoni kehidupan semacam itu mencerminkan spirit dakwah Sunan Kalijaga.

Bagi pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Munir Mulkhan, pendekatan wali itu mudah diterima dan tetap hidup sampai sekarang karena mengembangkan agama dalam konteks budaya dan kemanusiaan. Dasarnya adalah rasa empati terhadap sesama, menghargai perbedaan, dan toleran. Warna Islam-nya lebih sufistik, santun, terbuka, bahkan dibungkus ekspresi seni yang indah.

Semangat semacam itu, lanjut Mulkhan, selalu diperlukan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk. Apalagi, belakangan kian menguat gerakan radikalisme yang merasa benar sendiri dan mengajarkan agama dengan paksaan, bahkan kekerasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com