Tatan (28), sopir truk di Balikpapan, misalnya, mengaku sering menginap di SPBU di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara.
Ironinya, tak jauh dari SPBU, ratusan kios pengecer BBM berdiri berderet. Mereka menjual solar bersubsidi dengan harga Rp 6.000-Rp 7.000 per liter.
Mereka bisa mendapatkan solar bersubsidi dari SPBU dengan berbagai cara. Yang paling lazim adalah menggunakan jeriken. Selain itu, ada yang mengisi tangki berkali-kali dan menyerobot antrean.
”Saya pernah melihat sedan mengisi premium yang dipindahkan ke pengecer,” kata Wakil Wali Kota Samarinda Nusyirwan Ismail. Meski begitu, dia tak bisa berbuat apa-apa. Persoalan itu seharusnya di bawah pengawasan ketat Pertamina yang bekerja sama dengan kepolisian. ”Harus ditindak tegas,” ucapnya.
Di Palangkaraya, beberapa pengendara mobil juga terlihat bolak-balik ke SPBU. Setelah mengisi tangki dan pergi, mereka kembali lagi dan menyela antrean. Sopir yang diserobot tak berkutik.
Menurut Abdian (51), sopir truk di Palangkaraya, modus penimbun BBM seperti itu sudah rahasia umum. ”Sopir lain enggan menegur. Bisa baku hantam. Apalagi, komplotan penimbun orangnya banyak,” tutur Abdian.
Supervisor SPBU Sinar Sempaja di Samarinda, Marhanang, mengatakan, sulit menolak pembeli BBM yang bolak-balik karena mereka pasti marah. Seorang pegawai SPBU pernah dipukuli gara-gara menolak.
Tentang hal itu, Assistant Manager External Relation Pertamina Region VI Kalimantan Bambang Irianto mengatakan, pengawasan ada di BPH Migas. ”Tanpa harus diminta, polisi sebenarnya bisa menangkap pelaku itu,” katanya.