Penjualan solar biasanya dimulai pagi hari setelah ada pasokan dari Pertamina. Akibatnya, banyak truk baru bisa diisi tangkinya sekitar pukul 13.00. Praktis, seharian itu mereka sudah tidak bisa mendapatkan muatan dan harus menganggur.
Kondisi seperti itu sudah berlangsung berbulan-bulan. Sejumlah sopir menyebutkan tiga bulan, tetapi ada juga yang mengatakan, keadaan tersebut sudah sejak enam bulan lalu.
Selain melelahkan, krisis BBM juga merenggut waktu bercengkerama bersama keluarga. ”Saya hanya bisa berkumpul bersama keluarga setiap 10 hari. Waktu beli solar lancar, saya bisa bertemu setiap tiga hari,” kata Bambang.
Mengantre BBM harus dilakukan dua hari sekali oleh para sopir sehingga waktu untuk keluarga dan hari kerja berkurang.
”Dulu, waktu BBM gampang didapat, pendapatan saya sekitar Rp 3 juta per bulan,” kata Budiono. Sekarang, karena banyak waktu terbuang, penghasilan Budiono turun menjadi sekitar Rp 2 juta per bulan.
Risiko nyeri, rematik, dan masuk angin harus dihadapi, seperti dialami Bambang malam itu. Ia sebenarnya sakit. Wajahnya tampak pucat dan kuyu karena sempat muntah dan diare.
Tidak hanya di Kalimantan Tengah, antrean BBM, khususnya solar, juga terjadi hampir di seluruh wilayah Kalimantan, termasuk di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang merupakan kota minyak.
Antrean pembeli solar di Banjarmasin, Pontianak, dan sejumlah daerah di Kalimantan Timur sudah menjadi pemandangan biasa.