Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antrean BBM, Rugi Waktu Rugi Harta

Kompas.com - 19/07/2011, 02:21 WIB

Dwi Bayu Radius

Mengantre bahan bakar minyak bagi para sopir truk di Kalimantan adalah hal biasa. Tak jarang mereka menginap di dalam kabin truk agar bisa mendapatkan solar pada pagi harinya. Waktu dan energi pun terbuang sia-sia.

Malam telah begitu larut. Bambang Kusdaryanto (52) mencoba memejamkan mata dan beristirahat di dalam kabin truknya. Namun, nyamuk terus berdengung di telinga. Ia kibaskan tangan sekadar mengusir, tetapi serangga itu terus mengganggunya.

”Ya, beginilah, Mas. Banyak nyamuk, jadi susah tidur,” kata Bambang, sopir truk yang ditemui sedang mengantre di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) Jalan S Parman, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (16/7) sekitar pukul 01.00.

Bersama puluhan truk lain, Bambang mengantrekan truknya di jalan sekitar SPBU sejak petang agar besok tidak kehabisan solar. ”Kalau tidak menginap, tidak mungkin dapat solar,” kata Budiono, sopir yang sedang mengantre di SPBU Jalan Tjilik Riwut, Palangkaraya.

Budiono lalu bercerita, suatu saat ia nekat mulai mengantre pagi hari. Begitu sampai gilirannya mengisi solar sekitar pukul 13.00, papan pengumuman ”Solar Habis” pas dipasang. ”Saya harus antre lagi malam harinya,” katanya.

Untuk mengisi waktu, para sopir itu biasa bercanda atau mengobrol ngalor ngidul tentang apa saja, termasuk tentang keluarga yang harus ditinggalkan demi mendapatkan solar yang merupakan ”nyawa” bagi kehidupan mereka.

Menjelang pukul 00.00, mereka mulai masuk ke ruang kemudi. Rasa kantuk sudah menyerang dan tubuh yang letih minta diistirahatkan. Namun, hampir pasti mereka tak bisa segera lelap. Nyamuk dan udara pengap adalah musuh yang harus diperangi.

Kalaupun mata bisa terpejam, itu juga tak lama. Sekitar pukul 04.30, azan subuh terdengar dan mereka segera terbangun untuk shalat. ”Habis subuh, ya tidak bisa tidur lagi,” kata Bambang yang mengaku tinggal di Tewah, 144 kilometer dari Palangkaraya, sehingga tak mungkin meninggalkan truknya untuk pulang bertemu keluarga dan beristirahat.

Selain rumah jauh, sejumlah sopir juga harus menunggui truk mereka mengantre karena takut onderdil truk dicuri orang.

Buang waktu

Penjualan solar biasanya dimulai pagi hari setelah ada pasokan dari Pertamina. Akibatnya, banyak truk baru bisa diisi tangkinya sekitar pukul 13.00. Praktis, seharian itu mereka sudah tidak bisa mendapatkan muatan dan harus menganggur.

Kondisi seperti itu sudah berlangsung berbulan-bulan. Sejumlah sopir menyebutkan tiga bulan, tetapi ada juga yang mengatakan, keadaan tersebut sudah sejak enam bulan lalu.

Selain melelahkan, krisis BBM juga merenggut waktu bercengkerama bersama keluarga. ”Saya hanya bisa berkumpul bersama keluarga setiap 10 hari. Waktu beli solar lancar, saya bisa bertemu setiap tiga hari,” kata Bambang.

Mengantre BBM harus dilakukan dua hari sekali oleh para sopir sehingga waktu untuk keluarga dan hari kerja berkurang.

”Dulu, waktu BBM gampang didapat, pendapatan saya sekitar Rp 3 juta per bulan,” kata Budiono. Sekarang, karena banyak waktu terbuang, penghasilan Budiono turun menjadi sekitar Rp 2 juta per bulan.

Risiko nyeri, rematik, dan masuk angin harus dihadapi, seperti dialami Bambang malam itu. Ia sebenarnya sakit. Wajahnya tampak pucat dan kuyu karena sempat muntah dan diare.

Seluruh Kalimantan

Tidak hanya di Kalimantan Tengah, antrean BBM, khususnya solar, juga terjadi hampir di seluruh wilayah Kalimantan, termasuk di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang merupakan kota minyak.

Antrean pembeli solar di Banjarmasin, Pontianak, dan sejumlah daerah di Kalimantan Timur sudah menjadi pemandangan biasa.

Tatan (28), sopir truk di Balikpapan, misalnya, mengaku sering menginap di SPBU di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara.

Ironinya, tak jauh dari SPBU, ratusan kios pengecer BBM berdiri berderet. Mereka menjual solar bersubsidi dengan harga Rp 6.000-Rp 7.000 per liter.

Mereka bisa mendapatkan solar bersubsidi dari SPBU dengan berbagai cara. Yang paling lazim adalah menggunakan jeriken. Selain itu, ada yang mengisi tangki berkali-kali dan menyerobot antrean.

”Saya pernah melihat sedan mengisi premium yang dipindahkan ke pengecer,” kata Wakil Wali Kota Samarinda Nusyirwan Ismail. Meski begitu, dia tak bisa berbuat apa-apa. Persoalan itu seharusnya di bawah pengawasan ketat Pertamina yang bekerja sama dengan kepolisian. ”Harus ditindak tegas,” ucapnya.

Di Palangkaraya, beberapa pengendara mobil juga terlihat bolak-balik ke SPBU. Setelah mengisi tangki dan pergi, mereka kembali lagi dan menyela antrean. Sopir yang diserobot tak berkutik.

Menurut Abdian (51), sopir truk di Palangkaraya, modus penimbun BBM seperti itu sudah rahasia umum. ”Sopir lain enggan menegur. Bisa baku hantam. Apalagi, komplotan penimbun orangnya banyak,” tutur Abdian.

Supervisor SPBU Sinar Sempaja di Samarinda, Marhanang, mengatakan, sulit menolak pembeli BBM yang bolak-balik karena mereka pasti marah. Seorang pegawai SPBU pernah dipukuli gara-gara menolak.

Tentang hal itu, Assistant Manager External Relation Pertamina Region VI Kalimantan Bambang Irianto mengatakan, pengawasan ada di BPH Migas. ”Tanpa harus diminta, polisi sebenarnya bisa menangkap pelaku itu,” katanya. (PRA/ILO/WER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com