Azyumardi Azra
Enam bulan sudah sejak terjadinya ”revolusi rakyat” yang bermula di beberapa negara Arab yang berhasil menumbangkan rezim Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir. Sementara itu, krisis politik yang melibatkan kekerasan terus berlanjut di Libya, Yaman, dan Suriah.
Meski kian banyak korban tewas di ketiga negara ini—dan bahkan melibatkan kekuatan NATO di Libya—belum terlihat pertanda meyakinkan bahwa rezim-rezim penguasa bersikap legawa mengundurkan diri dari kekuasaan mereka masing-masing. Karena itu, patut jika banyak kalangan—khususnya di Dunia Arab sendiri—kian pesimistis dengan masa depan politik lebih demokratis di kawasan ini. Pesimisme ini tecermin, antara lain, dari istilah yang beredar di Dunia Arab. Hampir tidak ada penggunaan istilah semacam ”gelombang demokrasi” yang sebelumnya pernah digunakan dalam proses perubahan politik di Amerika Latin, Uni Soviet-Eropa Timur, dan terakhir di Indonesia pada 1998.
Sebaliknya, istilah yang paling sering digunakan adalah ”Arab spring”, musim semi, yang tidak secara eksplisit menyebut demokrasi atau ”region in transition”, wilayah dalam transisi—lagi-lagi tanpa menyebut demokrasi.
Ketiadaan kohesi sosial
Pesimisme yang terlihat dalam penggunaan istilah dan wacana yang berkembang di banyak kalangan Dunia Arab sendiri terlihat jelas dalam observasi penulis pada dua kali kunjungan ke wilayah ini sepanjang Mei lalu. Penulis mengamati, lingkaran penguasa dan rakyat kian cemas dengan masa depan politik—juga sosial-ekonomi—di Dunia Arab. Bisa dipastikan, perkembangan politik yang tak kondusif itu memengaruhi Timur Tengah secara keseluruhan, khususnya penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Perkembangan politik yang tak menentu mengakibatkan meningkatnya kesulitan ekonomi rakyat karena naiknya harga berbagai kebutuhan pokok. Keadaan ini menambah kenestapaan rakyat, yang dapat kembali memicu gelombang kekerasan. Gejala ini terlihat jelas di Mesir, di mana kekerasan kian meningkat terhadap komunitas Kristen Koptik. Ancaman hukuman berat terhadap pelaku terlihat tidak mempan menghentikan peningkatan intoleransi sosial-keagamaan.
Peningkatan intoleransi dan pergulatan politik memperlihatkan kesulitan luar biasa dalam transisi Dunia Arab dari kekuasaan otoritarianisme ke sistem politik lebih demokratis. Seperti penulis kemukakan awal Mei lalu dalam lokakarya ”Region in Transition” di Amman, Jordania—diselenggarakan West Asia and North Africa Forum pimpinan Pangeran Hassan bin Talal—transisi yang sulit dan pedih itu terkait lemahnya kohesi sosial masyarakat Dunia Arab.
Sebaliknya, yang sangat kuat sektarianisme antaragama seperti terlihat di Mesir dan intraagama semacam di Bahrain. Dalam kasus Libya dan Jordania, kohesi sosial terfragmentasi karena ”kabilahisme” sangat kuat, atau persekutuan keluarga di Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Kohesi sosial juga sulit terwujud karena warisan otoritarianisme militer yang lama seperti terjadi di Tunisia, Mesir, dan Yaman.