Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prospek Damai Timteng

Kompas.com - 07/06/2011, 03:03 WIB

Azyumardi Azra

Enam bulan sudah sejak terjadinya ”revolusi rakyat” yang bermula di beberapa negara Arab yang berhasil menumbangkan rezim Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir. Sementara itu, krisis politik yang melibatkan kekerasan terus berlanjut di Libya, Yaman, dan Suriah.

Meski kian banyak korban tewas di ketiga negara ini—dan bahkan melibatkan kekuatan NATO di Libya—belum terlihat pertanda meyakinkan bahwa rezim-rezim penguasa bersikap legawa mengundurkan diri dari kekuasaan mereka masing-masing. Karena itu, patut jika banyak kalangan—khususnya di Dunia Arab sendiri—kian pesimistis dengan masa depan politik lebih demokratis di kawasan ini. Pesimisme ini tecermin, antara lain, dari istilah yang beredar di Dunia Arab. Hampir tidak ada penggunaan istilah semacam ”gelombang demokrasi” yang sebelumnya pernah digunakan dalam proses perubahan politik di Amerika Latin, Uni Soviet-Eropa Timur, dan terakhir di Indonesia pada 1998.

Sebaliknya, istilah yang paling sering digunakan adalah ”Arab spring”, musim semi, yang tidak secara eksplisit menyebut demokrasi atau ”region in transition”, wilayah dalam transisi—lagi-lagi tanpa menyebut demokrasi.

Ketiadaan kohesi sosial

Pesimisme yang terlihat dalam penggunaan istilah dan wacana yang berkembang di banyak kalangan Dunia Arab sendiri terlihat jelas dalam observasi penulis pada dua kali kunjungan ke wilayah ini sepanjang Mei lalu. Penulis mengamati, lingkaran penguasa dan rakyat kian cemas dengan masa depan politik—juga sosial-ekonomi—di Dunia Arab. Bisa dipastikan, perkembangan politik yang tak kondusif itu memengaruhi Timur Tengah secara keseluruhan, khususnya penyelesaian konflik Israel-Palestina.

”Arab spring” hingga kini belum menghasilkan model transisi yang dapat menjadi semacam rujukan bagi negara-negara lain di Dunia Arab. Pergolakan politik masih berlanjut di Tunisia dan Mesir. Bahkan di Mesir, massa kembali ke Tahrir Square karena meningkatnya kekhawatiran terhadap melencengnya perjalanan ”revolusi rakyat” yang terlihat dibajak militer yang bersekutu dengan kalangan islamis.

Perkembangan politik yang tak menentu mengakibatkan meningkatnya kesulitan ekonomi rakyat karena naiknya harga berbagai kebutuhan pokok. Keadaan ini menambah kenestapaan rakyat, yang dapat kembali memicu gelombang kekerasan. Gejala ini terlihat jelas di Mesir, di mana kekerasan kian meningkat terhadap komunitas Kristen Koptik. Ancaman hukuman berat terhadap pelaku terlihat tidak mempan menghentikan peningkatan intoleransi sosial-keagamaan.

Peningkatan intoleransi dan pergulatan politik memperlihatkan kesulitan luar biasa dalam transisi Dunia Arab dari kekuasaan otoritarianisme ke sistem politik lebih demokratis. Seperti penulis kemukakan awal Mei lalu dalam lokakarya ”Region in Transition” di Amman, Jordania—diselenggarakan West Asia and North Africa Forum pimpinan Pangeran Hassan bin Talal—transisi yang sulit dan pedih itu terkait lemahnya kohesi sosial masyarakat Dunia Arab.

Sebaliknya, yang sangat kuat sektarianisme antaragama seperti terlihat di Mesir dan intraagama semacam di Bahrain. Dalam kasus Libya dan Jordania, kohesi sosial terfragmentasi karena ”kabilahisme” sangat kuat, atau persekutuan keluarga di Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Kohesi sosial juga sulit terwujud karena warisan otoritarianisme militer yang lama seperti terjadi di Tunisia, Mesir, dan Yaman.

Realitas politik, sosial, dan keagamaan seperti ini membuat nyaris absennya masyarakat madani yang sangat penting bagi terwujudnya kohesi sosial dan terbangunnya civic culture dalam masyarakat. Padahal, semua ini merupakan infrastruktur sosial amat penting dalam membangun demokrasi. Tanpa masyarakat madani, sulit berharap terwujud demokrasi yang sehat. Karena itu, salah satu tantangan pokok dalam membangun demokrasi di Dunia Arab ialah menghidupkan masyarakat madani yang bukan tidak ada potensi dan preseden historisnya di kawasan ini.

”Quo vadis” perdamaian

Turbulensi politik di Dunia Arab membuat prospek perdamaian di Timteng terlihat suram. Keterlibatan NATO dalam upaya menumbangkan rezim Moammar Khadafy di Libya menjadikan keadaan kian rumit dan sekaligus menghilangkan leverage-nya dalam ikut menciptakan perdamaian di kawasan ini. Sementara itu, pemerintahan Presiden Obama terlihat mengambil jarak sambil menunggu perkembangan lebih lanjut di sejumlah negara Arab yang terus bergolak. Berbeda dengan presiden-presiden AS sebelumnya, Obama berusaha menghindari keterlibatan langsung dalam pergolakan di Dunia Arab. Paling banter yang dilakukan mengimbau agar rezim-rezim otoriter mengundurkan diri untuk menghentikan kian banyaknya korban.

Di tengah pergolakan itu, Obama berusaha menciptakan momentum bagi perdamaian antara Israel dan Palestina. Harapan banyak kalangan sempat muncul ketika Obama menyatakan, prasyarat perdamaian adalah agar Israel kembali ke batas wilayah sebelum perang 1967.

Ini berarti Israel dan Palestina melakukan land-swap, tukar-menukar lahan, dan Israel harus mengembalikan lahan-lahan luas milik Palestina yang secara tidak sah telah jadi permukiman warga Yahudi. Namun, Obama segera ”meralat” pernyataannya ketika mendapat penolakan keras PM Benyamin Netanyahu, masyarakat Yahudi, dan lobi Israel dari berbagai penjuru. Kenyataan bahwa Obama kembali ingin mencalonkan diri dalam pemilu presiden 2012 membuatnya tak bisa menekan Israel lebih jauh.

Israel jelas nervous dengan pergolakan di Dunia Arab. Tumbangnya penguasa-penguasa sekutu AS, seperti Ben Ali dan Hosni Mubarak, serta terancamnya kekuasaan Presiden Ali Abdullah Saleh di Yaman membuat Israel kehilangan figur-figur bersahabat. Sementara itu, belum jelas pula siapa yang bakal berkuasa di negara-negara itu, apakah bersahabat atau bermusuhan, atau bahkan membatalkan hubungan selama ini. Israel merasa lebih nyaman dengan rezim tidak bersahabat tetapi tidak mengganggu, semacam Presiden Suriah Bashar al-Assad, daripada figur baru yang boleh jadi lebih keras pada negara Yahudi itu.

Semua perkembangan ini memperlihatkan kian rumitnya penciptaan stabilitas dan perdamaian di Timteng secara keseluruhan. Akan tetapi, di luar kekuatan-kekuatan itu, negara-negara lebih netral semacam Indonesia yang juga memiliki leverage di Dunia Arab dapat membantu dalam percepatan transisi politik di kawasan ini. Untuk itu, Indonesia harus kembali mengakselerasikan politik luar negeri lebih proaktif. Indonesia dapat mengambil inisiatif dengan berbagai pihak di Dunia Arab untuk membantu meringankan kepedihan transisi dan percepatan pembangunan sistem politik demokratis di kawasan tersebut.

Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com