Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Libya Pasca-Resolusi PBB

Kompas.com - 28/03/2011, 05:27 WIB
Oleh Zuhairi Misrawi

Resolusi PBB 1973 telah memaksa krisis politik di Libya memasuki era baru: perang antara tentara koalisi dan rezim Moammar Khadafy. Ada dua misi utama resolusi tersebut: zona larangan terbang dan perlindungan bagi warga sipil.

Di Libya, resolusi tersebut disambut dengan optimisme sekaligus pesimisme. Warga Libya yang berada di wilayah bagian timur, khususnya Benghazi, menyambut resolusi itu sebagai harapan baru bagi lahirnya demokrasi. Sejak 17 Februari, Benghazi merupakan pangkalan utama kubu oposisi yang terus berupaya melawan rezim Khadafy. Meski Khadafy telah membunuh ribuan warga, kubu oposisi tak gentar sedikit pun. Mereka percaya, perubahan rezim negara kaya minyak itu sebuah keniscayaan politik. Sebab itu, kubu oposisi mendesak Khadafy meninggalkan Tripoli dan tampuk kekuasaan yang sudah didudukinya selama 42 tahun.

Ketika PBB mengumumkan Resolusi 1973, warga Benghazi merayakan keputusan itu dengan gegap gempita, layaknya merayakan kemerdekaan Libya. Pasca-resolusi ini, Khadafy tak bisa seenaknya lagi menggunakan milisi bayaran dan persenjataan militernya untuk menggempur kantong utama kalangan oposisi dan beberapa wilayah lain yang direbut kalangan oposisi, seperti Ajdabiya, Zawiyah, Ras Lanuf, Zintan, dan Misrata. Selama beberapa hari pasca-resolusi, oposisi yang bermarkas di Benghazi menemukan titik cerah untuk menjatuhkan rezim Khadafy.

Namun, situasinya berbeda dengan yang terjadi di Tripoli, pusat pemerintahan Libya. Kota ini pusat dari para loyalis Khadafy. Selama revolusi bergejolak, kota ini dikabarkan sangat aman jika dibandingkan dengan Benghazi. Namun, pasca-Resolusi PBB, kota ini jadi sasaran tentara koalisi yang sejak hari pertama sudah menggempur pusat pertahanan Khadafy di Bab al-Aziziya, Tripoli. Hampir setiap malam, pesawat tentara koalisi menggempur kekuatan pertahanan tentara Khadafy sehingga kehidupan malam jadi mimpi buruk bagi seluruh penduduk yang bermukim di Tripoli.

Meskipun diberitakan para pendukung Khadafy masih loyal menyokong pemimpinnya—sebagaimana diberitakan Libya TV—tak bisa dimungkiri adanya ketakutan masif di Tripoli saat ini. Salah satu alasannya, kekuatan yang dimiliki tentara koalisi jauh lebih canggih daripada persenjataan yang dimiliki tentara Khadafy.

Di samping itu, tak adanya penjelasan dari PBB tentang rentang waktu penyerangan menyebabkan ketakutan kian membuncah bagi warga sipil. Misi resolusi yang semula bertujuan melindungi warga sipil bisa jadi ancaman warga sipil, khususnya bagi yang mukim di Tripoli.

Pro-revolusi

Resolusi lahir setelah Dewan Tinggi Negara-negara Teluk dan Liga Arab memutuskan agar diberlakukan zona larangan terbang di Libya. Dewan Transisi Nasional Libya, yang bermarkas di Benghazi, juga membenarkan, upaya mereka dalam mewujudkan perubahan akan kandas di tengah jalan karena Khadafy melawan demonstrasi dengan tembakan yang konon telah menewaskan 8.000 warga sipil.

Sumber masalah utama adalah kebijakan politik Khadafy dalam menghadapi kalangan oposisi yang cenderung membabi buta. Bahkan, sehari setelah Resolusi PBB dikeluarkan, Khadafy mengancam akan membunuh kalangan oposisi dengan mendatangi rumah-rumah mereka. Hingga saat ini loyalis Khadafy masih membombardir tempat tinggal, bahkan rumah sakit yang digunakan oposisi di Misrata.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com