Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lonceng Pertama untuk Pak Kolonel

Kompas.com - 19/02/2011, 04:31 WIB

Oleh Trias Kuncahyono

Dari Tunis ke Mesir. Begitulah bola api perubahan itu menggelinding. Dan Libya yang terletak di antara Tunisia dan Mesir terlewati ketika itu. Nama besar pemimpin Libya, Moammar Khadafy, seakan menjadi jaminan terselamatkannya negeri itu dari terjangan bola api perubahan.

Akan tetapi, gerakan bola api perubahan itu tidak bisa ditebak hendak ke mana dan akan seperti apa akhir dari negera yang diterjangnya.

Dari Afrika Utara ke Teluk. Itulah yang kita saksikan kemudian ketika Bahrain, negeri kecil yang ”mengapung” di Teluk Persia itu, akhirnya goncang juga. Api perubahan menyala-nyala.

Bahrain adalah negeri berpenduduk sekitar setengah juta orang dan separuhnya pekerja asing. Sekitar 70 persen dari penduduk lokal adalah kaum Syiah, sementara sisanya kaum Sunni yang menguasai tampuk pemerintahan.

Selama ini sebenarnya sudah terjadi ketegangan antara mayoritas anggota masyarakat yang Syiah dan penguasa di bawah keluarga Raja Hamad bin Isa al-Khalifa serta elite politik lain yang Sunni. Kaum Syiah mempersoalkan perlakuan diskriminatif dalam mencari pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan pemerintahan.

Pemerintah kerajaan tak tanggung-tanggung menghadapi para demonstran. Tentara diturunkan ke lapangan, didukung tank dan kendaraan lapis baja pengangkut personel. Korban berjatuhan. Ada yang mati dan banyak yang luka. Namun, api perlawanan tidak surut. Di Yaman, demonstrasi menentang kepemimpinan Presiden Ali Abdullah Saleh pun muncul. Mereka menuntut agar presiden yang sudah berkuasa sejak tahun 1978 itu mundur.

Iran dan Aljazair juga tidak luput dari sengatan bola api perubahan yang menggelinding pertama dari Tunis, lalu ke Mesir. Negara-negara lain, seperti Jordania dan Suriah, pun segera bebenah untuk mengantisipasi masuknya ”virus” dari Tunisia dan Mesir itu. Sementara Irak masih disibukkan oleh konflik sektarian.

Akan tetapi, dapatkah gerak bola api perubahan itu dihentikan dan dipadamkan? Ketika pada akhirnya Libya berkobar pula—api mulai bernyala dari Benghazi, kota terbesar kedua di Libya—muncullah pertanyaan: apakah sampai sekian kepemimpinan Moammar Muhammad Abu Minyar al-Qadhafi (Khadafy)?

Tanggal 1 September 1969, saat berpangkat kapten, ia mengobarkan Revolusi Al Fatah dan menyingkirkan Raja Idris. Sejak itulah ia menjadi pemimpin Libya dengan pangkat kolonel. Oleh rakyatnya, ia dipanggil ”Al-ZaÆiim” (Sang Pemimpin).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com