Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang-orang Indonesia yang Terusir ke China

Kompas.com - 02/02/2011, 04:12 WIB

Letak kota kecil bernama Yingde (baca: Ingte) ini kira-kira 140 kilometer dari Guangzhou. Untuk mencapainya harus melewati jalan tol yang pemandangan kiri-kanannya mengingatkan pada Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang. Dengan lewat jalan tol, Yingde bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam.

Dulu, kalau mau ke Yingde, sebelum ada tol, perjalanannya sangat sulit dan butuh waktu lebih dari lima jam dari Guangzhou. Yingde adalah kota kecil setara kecamatan. Di sana terdapat kebun teh yang terkenal milik pemerintah, yakni perkebunan teh Yinghua. Pekerja di kebun teh Yinghua memang warga negara China. Mereka berbicara dengan bahasa China. Tetapi ketika mereka berbicara, terselip secara samar aksen-aksen yang jelas bukan asli China. Kadang kala juga muncul kata-kata yang jelas bukan kosakata China.

Pekerja kebun teh Yinghua memang orang China, tetapi mereka bukan kelahiran China. Mereka lahir di India, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan tentu juga dari Indonesia. Pekerja kebun teh yang berasal dari Indonesia adalah orang China yang harus meninggalkan Indonesia karena terkena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Peraturan itu melarang orang China menetap di tingkat kecamatan.

Alhasil, orang China yang berada di seluruh kecamatan harus keluar dari kecamatan.

Bagi mereka yang memiliki keluarga di kabupaten, mereka bisa menumpang di sana dan memulai hidup baru di kabupaten atau kota. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki siapa-siapa, mereka harus keluar dari Indonesia. Sebagian besar dari mereka terpaksa kembali ke China daratan walaupun mereka merasa asing dengan China. Sebagian besar dari mereka adalah generasi ketiga. Kakek merekalah yang lahir di China lalu bermigrasi ke Indonesia. Dengan ”pengusiran” itu, mereka merasa seperti bukan orang China dan juga bukan orang Indonesia.

Ketika mereka sampai di China, sekitar tahun 1960-an, mereka ditempatkan oleh Pemerintah China di Yingde. Ternyata Yingde adalah tempat penampungan bagi orang China yang terusir dari negara tempat kelahiran mereka. Sedikitnya orang yang ditampung di sana berasal dari 26 negara berbeda. ”Ketika itu ada sekitar 10.000 pengungsi di sana. Rata-rata mereka keluar dari negara kelahiran mereka karena gejolak politik dan perang yang terjadi di negara kelahiran,” kata Gunawan Chen (71), Ketua Perkumpulan Perantauan Yinghua, saat ditemui di Yingde, 20 Januari lalu.

Hidup di perkebunan yang kondisi iklimnya sangat berbeda dengan Indonesia tentu saja bukan hal mudah. Jika musim dingin, mereka merasa sangat kedinginan. Jika musim panas, panasnya bukan kepalang. ”Tiga tahun pertama adalah masa-masa yang paling menyulitkan. Setiap orang tentu pernah merasa lapar, tetapi kelaparan tidak semua orang merasakan. Tiga tahun itu kami kelaparan semua,” kenang Gunawan yang tercatat sebagai alumnus SMA Aloysius, Semarang.

Setiap hari mereka makan dari pemberian jatah negara. ”Makanannya hanya ada ubi. Tidak ada minyak goreng saat itu, jadi semua yang kami makan adalah rebus-rebusan,” kata Wu Jien Nam (70) yang berasal dari Aceh.

Mereka tinggal di kampung-kampung yang dikenal sebagai Kampung Jawa, Kampung Aceh, Kampung Vietnam, Kampung India, Kampung Malaysia, dan sebagainya. Kekerabatan di antara mereka tetap terjalin erat untuk saling menguatkan.

Walaupun hidup susah, mereka mengaku masih bisa menolong banyak orang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com