Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengelolaan Ancaman Gunung Semeru

Kompas.com - 28/01/2011, 04:35 WIB

Bahkan kota Lumajang pun tidak benar-benar aman. Pada Agustus tahun 1909 kota ini dilanda banjir lahar dingin melalui daerah aliran sungai (DAS) Besuk Semut yang menelan korban 208 orang meninggal, 1.454 rumah rusak, dan 9.372 hektar sawah dan tegalan tertimbun lahar dingin. Sejak bencana tahun 1968 DAS Besuk Semut, Curah Lengkong, dan Kali Pancing tertutup sedimen sehingga tidak lagi jadi aliran utama lahar dingin. Sekarang, kata Pelaksana Tugas Bidang Perlindungan Masyarakat Badan Kesatuan Bangsa Lumajang, Paryono, aliran lahar ke tiga DAS utama yaitu Besuk Bang, Besuk Kembar, dan Besuk Kobokan.

TNBTS juga memiliki 60 desa penyangga di empat wilayah kabupaten yang berbatasan dengan wilayahnya, yaitu Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.

Desa penyangga ini adalah desa yang berbatasan dengan TNBTS dan diharapkan turut membantu menyelamatkan dan mengamankan kawasan. Pusat permukiman desa penyangga itu rata-rata lokasinya lebih dari 20 km dari batas wilayah terluar TNBTS.

Penyiapan infrastruktur

Pemerintah dan masyarakat paham bahwa tinggal di bawah kaki Semeru adalah berbahaya. Tetapi tidak mungkin memindahkan mereka. Maka yang dilakukan adalah menyiapkan masyarakat dan infrastruktur untuk menghadapi ancaman bencana.

Misalnya di Dusun Rowo Baung, penduduk sudah dilatih menghadapi bencana. Kalau bencana guguran awan panas, mereka sudah tahu harus lari menjauh ke arah kota. Apalagi sejak setahun lalu sudah ada jembatan yang menghubungkan dusun itu dengan daerah lain. Sebelumnya penduduk harus menyeberangi Sungai Besuk Bang. Sekarang, mayoritas penduduk juga memiliki sepeda motor, sehingga lebih lincah. Balai dusun pun difungsikan sebagai barak pengungsian, karena merupakan tempat tertinggi. ”Kami juga menyiapkan alat komunikasi seperti lonceng dan telepon seluler,” kata Waryanto, warga desa.

Masyarakat juga dilatih memahami tanda-tanda alam. Berdasar pengalaman, ancaman bencana terjadi pada Jumat Wage. Selain itu, warga memahami tanda-tanda alam. Kalau melihat di lereng Semeru gelap pertanda hujan, mereka harus segera meninggalkan sungai, tempat mayoritas warga Rowo Baung mencari nafkah sebagai penambang pasir dan batu. ”Biasanya kalau banjir, kami malah melihat untuk mengetahui tingkat bahayanya. Kalau berbahaya, kami mengungsi, kalau kecil tidak apa-apa. Malah kami senang karena berarti besok ada pasir lagi untuk ditambang. Bagi kami, banjir tidak cuma ancaman tetapi juga berkah,” kata Joko Santoso (30) yang lahir di Rowo Baung. Sebagai penambang pasir dan batu, dia bisa berpenghasilan Rp 130.000 per hari. Di dusun itu setiap hari tidak kurang dari 100 truk mengangkut pasir dan batu. Semeru juga memberi berkah, tanah yang sangat subur oleh guyuran abu vulkaniknya.

Faktor lumpur Lapindo

Pemerintah dan masyarakat telah memiliki tindakan preventif. Masyarakat misalnya, memelihara gumuk (bukit kecil buatan) yang dibangun sejak zaman Pemerintah Belanda sebagai tempat pengungsian. Selain mengandalkan Pos Pengamat Gunung Sawur yang selalu memonitor bahaya Semeru, penduduk juga membangun pos-pos pemantau banjir di sejumlah DAS. Menyiapkan pelbagai material dan peralatan penyelamatan jika terjadi bencana. ”Pokoknya sejak ada lumpur Lapindo, di sini tidak pernah terjadi banjir besar,” kata Atmini, kakek asli Dusun Kembangan, Desa Pronojiwo.

Petugas Pos Gunung Sawur, Arifin, juga mengingatkan walaupun gunung tertinggi di Pulau Jawa ini (Semeru) relatif stabil tetapi bukan berarti tidak mengancam.

Masyarakat pun menyadari untuk tidak pernah lengah. Lebih dari itu ada sikap yang harus mereka jaga, yaitu jangan bersikap sombong terhadap Semeru, yang menurut kitab Tantu Panggelaran, gunung ini dibawa Dewa Wisnu dari India untuk memantek Pulau Jawa agar tidak gonjang-ganjing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com