Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Besar Mendominasi

Kompas.com - 05/09/2009, 05:59 WIB
 

SIMON SARAGIH

KOMPAS.com - Pada tahun 1991, ketika Arifin Siregar menjabat menteri perdagangan, Indonesia pernah ditekan asosiasi perfilman AS. Waktu itu ada upaya di kalangan perfilman Indonesia agar impor film tidak dimonopoli Studio 21. Selanjutnya yang terjadi, Studio 21 bekerja sama dengan asosiasi perfilman AS sehingga film-film AS mendominasi bioskop- bioskop Indonesia.

Seandainya kerja sama dengan asosiasi film AS itu tidak dilakukan, ekspor manufaktur Indonesia, yang saat itu didominasi tekstil, akan terancam pengurangan kuota untuk memasuki pasar AS. Demi kepentingan perfilman AS, terancamlah nasib para pekerja perusahaan tekstil Indonesia yang gajinya tak seberapa itu. Misi asosiasi perfilman AS bisa terwujud karena AS memiliki Super 301 Act, yang tugas utamanya adalah memaksa negara asing memperbolehkan investasi, perusahaan keuangan milik AS masuk dengan leluasa.

Indonesia sudah beberapa kali jadi korban, seperti penolakan ekspor udang, kampanye AS bahwa minyak sawit menimbulkan penyakit. Inilah yang disebut sebagai hambatan nontarif yang meredam laju ekspor Indonesia ke AS dan Eropa.

”Ini adalah warna kebijakan neoliberalisme AS dengan Inggris,” kata Lihyun Lin, dari Universitas Fujen, Taipei, Taiwan. Negaranya juga menjadi ancaman AS karena pernah masuk kategori watch list (dalam pengawasan) lewat Super 301 Act.

Toshiki Kaifu, Perdana Menteri Jepang periode 1989-1991, pernah menjuluki Carla Hills sebagai ”spitz” Hills, Ketua Kepala Perwakilan Dagang AS (US Trade Representatives), dikenal dengan ucapannya yang tajam, mendesak, dan memaksa. Super 301 Act adalah senjatanya.

”Saya masih ingat saat masih menjabat, AS memaksa saya membuka pasar bagi produk AS, mengizinkan investasi asing AS masuk dengan leluasa ke Jepang,” kata Kaifu mengenang sikap keras AS saat itu.

Super 301 Act memudar. Namun, tekanan tidak melemah, lewat pimpinan di WTO yang didominasi para mantan pejabat AS, Eropa, tekanan makin menjadi-jadi. Sebuah negara bisa diancam lewat sanksi dagang jika tidak membuka pasar, investasi, dan perusahaan keuangan dari AS dan Eropa. Ini, misalnya, terjadi lewat trade related investment measures (trims). Juga ada trade related intellectual property rights (trips), di mana sebuah negara diancam jika membajak produk asing.

 Ini belum apa-apa. Pernah Arthur Dunkel, mantan Dirjen General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)—kini menjadi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)—terpaksa mematenkan obat antibiotik, yang diperlukan secara massal di Afrika dan Asia. Dengan hak paten ini, Pfizer, perusahaan AS, mendapatkan manfaat berupa pengenaan harga lebih tinggi atas obat-obat antibiotiknya. Dengan hal paten itu, banyak negara saat itu tak bisa membuat produk antibiotik sendiri, walau kemudian dilawan.

Tak berubah

Di bawah Dirjen Pascal Lamy, WTO juga tak berubah. Contoh terbaru, AS dan Eropa memaksa Brasil, India, China, Rusia (Brics) dan negara berkembang lainnya meliberalisasi industri kimia, elektronik, dan otomotif. Tujuannya adalah raksasa perusahaan AS bisa leluasa masuk. Di sisi lain, Brics sedang mengembangkan industri tersebut. Kemasukan raksasa AS dan Eropa di bidang itu hanya akan membuat industri bayi di negara berkembang menjadi punah dan tak pernah berkembang.

Namun, lihat sebaliknya, AS dan Uni Eropa sangat enggan menerima kapas berharga murah serta berkualitas baik asal Afrika demi melindungi petani kapas mereka. ”Lihat juga betapa negara maju belum mau meliberalisasikan industri tekstil mereka, yang justru menjadi andalan negara berkembang,” kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Subsidi sektor pertanian di negara maju tetap menjadi hambatan karena tidak mau dilepas. ”Bagaimana India bisa dipaksa membuka pasar bagi produk pertanian negara maju, sementara India memiliki jutaan penduduk yang hidup sebagai petani subsisten,” kata Menperdag India Anand Sharma.

AS dan Eropa memaksa negara berkembang membuka seluas mungkin pasar bagi perusahaan keuangan, jasa-jasa asing. Pisang dari Karibia saja susah untuk memasuki Eropa. ”Distorsi dalam perdagangan global harus dikoreksi,” kata Menperdag India Anand Sharma. Negara berkembang terus menekan dan tak mau mengalah serta menuntut WTO memenuhi ikrarnya agar rezim perdagangan internasional yang akan tercipta memberi akses pada produk-produk negara berkembang.

Terima kasih kepada kemajuan ekonomi India, China, Brasil, Rusia, dan sejumlah negara berkembang. Posisi China, yang kini sebagai eksportir kedua terbesar dunia, perkembangan ekonomi karena kekuatan ekonomi domestik, membuat negara berkembang di WTO makin kuat.

Terima kasih kepada Kamal Nath, kini digantikan Sharma, Celso Amorim (Menlu Brasil), yang amat kompak dengan Menperdag Indonesia. ”Kita kompak, bersatu. Jelas kekuatan ekonomi negara berkembang menjadi pemberi posisi kuat bagi kita,” kata Menteri Perdagangan Indonesia ini pula....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com