Tentu saja hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi China yang belum tertandingi. Di tengah stagnasi Eropa, China justru kembali mengalami surplus perdagangan hingga 9 persen pada Oktober. Di Jepang, sektor perbankan mengalami peningkatan kepemilikan surat berharga, namun di sisi lain, bank-bank daerah mengalami penipisan modal dan pelambatan pendapatan yang kemungkinan besar disebabkan oleh ancaman serius depopulasi (ageing population).
Bagaimana dengan Asia Tenggara? Stabilitas ekonomi di kawasan ini cukup terkendali. Situasi ini sangat mendukung bagi penciptaan kerja sama ekonomi Asia yang lebih mapan dan komprehensif. Hanya saja, perkembangan menarik patut dicermati terkait gelombang instabilitas yang melibatkan China di kawasan.
Pertama, sengketa di Kepulauan Spratly antara China dengan beberapa negara semakin menambah ketegangan di kawasan. Dengan adanya sengketa ini, hubungan China-ASEAN menjadi terpecah. Persepsi ASEAN dalam diplomasinya dengan China ke depan akan diwarnai perbedaan pendapat yang serius terkait isu ini.
Kedua, agresivitas China yang menyulut ketegangan dengan Jepang di Pulau Diaoyu/Senkaku. Sengketa ini cukup berlarut, dimulai dengan pendudukan pulau yang dilakukan oleh beberapa aktivis China, hingga menjamurnya protes anti-Jepang di berbagai penjuru China. Akibat dari sengketa ini, China bahkan menolak mengirimkan perwakilannya untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF yang diselenggarakan di Tokyo bulan ini.
Ketiga, peluncuran kapal induk Liaoning yang dilakukan di tengah sengketa beberapa pulau di Asia Timur menyulut tensi krisis di kawasan. Saat ini, media China tengah gencar menyiarkan dan mempromosikan kapal induk ini kepada setiap warganya. Hal ini dimungkinkan bisa menyulut sentimen nasionalisme masyarakat China, termasuk gelombang aksi anti-Jepang yang terus bermunculan.
Kondisi ini tentu sangat memengaruhi kinerja perdagangan China-Jepang. Dalam sembilan bulan terakhir, nilai perdagangan di antara kedua negara ini terus mengalami kemerosotan. Krisis di Diaoyu/Senkaku menyulut sentimen warga untuk memboikot barang-barang Jepang yang masuk ke China. Penjualan mobil Jepang di China, misalnya, anjlok 35-50 persen dari tren penjualan normal.
Bahk Jae-wan, Menteri Strategi dan Keuangan Korea Selatan, masih berharap besar agar pertemuan Pakta Perdagangan Trilateral antara Korea Selatan, Jepang, dan China pada November ini dapat berjalan dengan lancar meski ketegangan sedang memanas di antara dua negara itu (WSJ Asia, 9/10/2012). Pakta kerja sama ini menjadi salah satu alat yang diandalkan meningkatkan kerja sama untuk menopang pertumbuhan di Asia.