SITTWE, KAMIS
Dari korban tewas tersebut, 16 orang berasal dari kelompok warga minoritas Muslim Rohingya, Sementara 13 orang lainnya berasal dari warga mayoritas penganut Buddhis. Data resmi itu disampaikan Kolonel Htein Lin dari Kementerian Urusan Keamanan dan Perbatasan Myanmar, Kamis (14/6), dalam jumpa pers di Sittwe.
Namun, diyakini bahwa jumlah korban tewas itu belum termasuk 10 warga Muslim Rohingya yang tewas dihakimi ratusan warga Buddha pada 3 Juni lalu. Kejadian itulah yang memicu kerusuhan meluas.
Selain korban jiwa dan penduduk yang terpaksa mengungsi, kerusuhan berdarah juga mengakibatkan 2.600 bangunan rumah, toko, dan tempat ibadah hancur terbakar.
Dalam kesempatan terpisah, utusan Perserikatan Bangsa- Bangsa, yang juga pelapor khusus hak asasi manusia untuk Myanmar, Ojea Quintana, mengkhawatirkan insiden itu dapat mengancam proses reformasi demokrasi di Myanmar.
Ojea mendesak pemerintahan reformis Myanmar agar segera menangani dan menuntaskan ”akar masalah” kekacauan, yaitu diskriminasi yang terus terjadi atas warga Muslim Rohingya di negeri itu.
”Persoalan utamanya diskriminasi atas minoritas etnis dan pemeluk agama. Masalah tersebut mengancam stabilitas dan transisi demokrasi di sana,” ujar Ojea.
Akibat kerusuhan berdarah, ratusan warga Muslim Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, melarikan diri ketakutan ke negara tetangga Banglades.
Akan tetapi, kebanyakan dari mereka dipaksa kembali pulang oleh Pemerintah Banglades. Otoritas perbatasan Banglades hingga kini telah menahan sedikitnya 17 perahu pengungsi.