Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Angka Kelahiran di Korea Selatan Terus Menurun?

Kompas.com - 30/04/2024, 15:17 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber BBC,Reuters,DW

MENJAGA jumlah populasi agar tetap stabil sangat penting untuk keberlangsungan suatu negara. Di satu sisi, populasi yang berlebihan dapat menyebabkan tekanan pada sumber daya. Di sisi lain, kekurangan populasi juga akan menghambat pertumbuhan negara karena sedikitnya sumber daya manusia yang dapat bekerja. Untuk mencegah over populasi atau kekurangan populasi, para ahli mengatakan angka kelahiran yang paling aman adalah dalam kisaran 2,1 anak per perempuan.

Namun, merealisasikan angka tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak negara di dunia mulai menyaksikan penurunan drastis angka kelahiran.

Pada tahun 2020, Amerika Serikat (AS) mencatat rekor angka kelahiran terendah dalam tiga dekade terakhir di sebanyak 43 negara bagian. Biro Sensus AS memperkirakan di tahun 2034, jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas akan melebihi jumlah penduduk berusia di bawah 18 tahun untuk pertama kalinya dalam sejarah AS.

Baca juga: Angka Kelahiran di Jepang Anjlok, Produsen Popok Bayi Akan Sasar Indonesia?

Pada awal tahun ini, China juga mencatat penurunan populasi pertamanya dalam beberapa dekade. Di Jepang, angka kelahirannya hanya mencapai 1,26 pada tahun 2022.

Di Korea Selatan, kasusnya jauh lebih buruk. Setiap tahunnya, semakin banyak perempuan di Korea Selatan yang hanya ingin memiliki sedikit anak atau bahkan tidak sama sekali. Secara bersamaan, tingkat pernikahan juga terus menurun di Korea Selatan.

Sejak tahun 2018, Korea Selatan telah menjadi satu-satunya negara dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang memiliki angka kelahiran di bawah 1. Pada tahun 2023, angka kelahiran di Korea Selatan hanya mencapai 0,72, turun dari 0,78 pada tahun sebelumnya.

Di tahun 2024 ini, Korea Selatan memprediksi akan kembali mengalami penurunan sampai dengan 0,68. Sedangkan dalam kurun waktu 50 tahun lagi, diprediksi jumlah penduduk usia produktif di Korea Selatan akan berkurang sampai dengan setengahnya.

Ini berarti, separuh populasi di Korea Selatan akan berusia di atas 65 tahun. Begitu pun jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer akan menyusut sebesar 58 persen.

Hal ini merupakan pertanda buruk bagi perekonomian dan keamanan Korea Selatan. Untuk itu, pemerintah Korea Selatan akhirnya menyatakan isu ini sebagai “darurat nasional”.

Selama hampir 20 tahun, pemerintah Korea Selatan telah menghabiskan dana sebesar 379,8 triliun KRW atau sekitar 286 miliar dollar AS untuk mengupayakan perbaikan angka kelahiran.

 

Uang itu kebanyakan dipakai untuk menyediakan bantuan bagi para keluarga yang memiliki anak, mulai dari rumah subsidi sampai dengan layanan taksi gratis. Tagihan rumah sakit bahkan perawatan IVF juga digratiskan oleh pemerintah bagi pasangan menikah yang akan memiliki anak.

Namun, cara ini tetap tidak efektif. Pemerintah pun memikirkan cara lainnya, seperti melalui mempekerjakan pengasuh anak dari Asia Tenggara dan membayar mereka di bawah upah minimum, atau mengecualikan laki-laki dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak sebelum menyentuh usia 30 tahun.

Meski begitu, lagi-lagi cara ini tidak efektif juga. Bukannya respon baik, pemerintah dituduh tidak mendengarkan kebutuhan generasi muda, terutama perempuan.

Kesenjangan Antara Laki-laki dan Perempuan 

Di antara semua negara yang tergabung dalam OECD, perempuan Korea Selatan merupakan yang paling berpendidikan. Namun, Korea Selatan sampai saat ini masih menjadi negara dengan tingkat kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan yang terburuk.

Angka pengangguran di Korea Selatan juga didominasi oleh kaum perempuan. Kebanyakan pekerjaan-pekerjaan besar didominasi laki-laki. Perusahaan-perusahaan di Korea Selatan banyak yang enggan mempekerjakan perempuan muda karena takut harus mengeluarkan dana lebih untuk pelatihan karyawan baru jika suatu saat perempuan tersebut hamil dan memilih untuk keluar dari tempat kerja.

Karena itu, jika seorang perempuan Korea Selatan benar-benar ingin sukses dalam karier, mau tidak mau mereka harus bertekad untuk fokus terhadap karier saja.

“Orang Korea mempunyai pola pikir bahwa jika Anda tidak terus-menerus berupaya memperbaiki diri, Anda akan tertinggal dan gagal. Ketakutan ini membuat kami bekerja dua kali lebih keras,” kata Yejin, produser di televisi Korea Selatan kepada BBC. Yejin berusia 30 tahun dan belum memiliki anak.

Yejin juga mengatakan kepada BBC bahwa dirinya takut tidak dapat kembali bekerja jika memiliki anak.

Baca juga: Korea Selatan Darurat Krisis Penduduk, Angka Kelahiran Terendah di Dunia

Hambatan itu memaksa perempuan Korea Selatan untuk memilih hanya di antara dua pilihan: mengejar karier atau berkeluarga. Angka kelahiran yang turun signifikan tiap tahunnya menunjukkan bahwa semakin berkembangnya zaman, semakin banyak perempuan Korea Selatan yang memilih opsi pertama, yaitu karier.

Hyobin Lee yang berusia 44 tahun bercerita kepada DW mengenai impiannya dahulu untuk menjadi seorang ibu.

“Ketika saya masih muda, saya bermimpi memiliki seorang putra yang mirip dengan saya,” kata Lee.

 

“Saya ingin bermain dengannya, membaca bersama, dan menunjukkan kepadanya banyak hal tentang dunia. Namun saya menyadari bahwa kenyataannya tidak sesederhana itu.”

Alih-alih berkeluarga seperti keinginannya dahulu, kini Lee menjadi seorang akademisi yang sukses di Kota Daejeon.

“Saya memilih untuk tidak memiliki anak karena karier saya,” katanya. "Memiliki dan membesarkan anak akan menimbulkan masalah bagi karier saya dan saya khawatir saya akan membenci anak tersebut karena alasan itu. Dan sebagai konsekuensinya, baik saya maupun anak tersebut tidak akan bahagia.”

Lee kemudian menambahkan, biaya persalinan dan pengasuhan anak yang sangat tinggi juga merupakan salah satu alasan mengapa banyak perempuan Korea Selatan termasuk dirinya enggan memiliki anak.

Selain waktu dan biaya, budaya patriarki yang masih kental di Korea Selatan turut membuat perempuan-perempuan takut  memiliki anak.

“Di Korea, masih ada budaya umum yang percaya bahwa melahirkan anak dan semua aspek pengasuhan anak adalah tanggung jawab perempuan,” kata Lee.

Pernyataan Lee terbukti dari rendahnya pemanfaatan cuti orangtua oleh laki-laki di Korea Selatan dibanding dengan perempuan. Padahal, cuti orangtua baik bagi laki-laki atau untuk perempuan sama-sama telah diatur undang-undang negara itu.

Rata-rata penggunaan hak cuti orangtua oleh laki-laki di 38 negara anggota OECD di kisaran 43,4 persen. Di Korea Selatan angkanya hanya 1,3 persen laki-lakinya yang menggunakan hak cuti tersebut.

Jungmin Kwon, profesor di Portland State University di Oregon (AS) yang berfokus pada budaya populer Asia Timur menunjukkan sebuah data statistik yang menampilkan bagaimana perempuan Korea Selatan yang berkeluarga sampai saat ini masih melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak lima kali lebih banyak daripada laki-laki.

“Yang lebih penting lagi, dalam budaya patriarki saat ini, di mana perempuan diharapkan menanggung sebagian besar energi mental dan fisik yang dibutuhkan untuk membesarkan anak, melahirkan, dan mengasuh anak merupakan pilihan yang menantang bagi perempuan,” kata Kwon.

Di Daejeon, seorang ibu dari dua anak bernama Jungyeon Chun turut jadi korban dari apa yang ramai disebut sebagai “pernikahan orang tua tunggal”.

“Saya tidak merasa membuat keputusan besar untuk memiliki anak. Saya pikir saya akan dapat kembali bekerja dengan cepat,” katanya.

 

Namun tak lama kemudian, tekanan sosial dan finansial mulai muncul. Tanpa disadari, Chun justru mengurus anaknya sendirian. Suaminya, seorang anggota serikat pekerja, tidak membantu mengurus anak atau pekerjaan rumah sama sekali.

"Saya merasa sangat marah," katanya. “Saya telah terdidik dengan baik dan diajarkan bahwa perempuan itu setara, jadi saya tidak bisa menerima ini.”

Kini, perempuan Korea Selatan semakin berpikiran progresif, nilai-nilai patriarki tidak lagi ditakuti mereka. Inilah juga yang mendorong mereka untuk akhirnya mengabaikan tuntutan sosialnya untuk memiliki anak dan memilih untuk mengejar karier sebagai gantinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bagaimana Cara Barat Pakai Aset Rusia yang Dibekukan untuk Dukung Ukraina?

Bagaimana Cara Barat Pakai Aset Rusia yang Dibekukan untuk Dukung Ukraina?

Internasional
Invasi Rusia ke Ukraina Menimbulkan Emisi Karbon yang Besar

Invasi Rusia ke Ukraina Menimbulkan Emisi Karbon yang Besar

Internasional
Inilah Poin-poin Perdebatan dalam Negosiasi Gencatan Senjata Israel-Hamas

Inilah Poin-poin Perdebatan dalam Negosiasi Gencatan Senjata Israel-Hamas

Internasional
Upaya Pemulihan Keamanan di Ekuador Picu Kekhawatiran Terkait HAM

Upaya Pemulihan Keamanan di Ekuador Picu Kekhawatiran Terkait HAM

Internasional
Gelombang Partai Ultra Kanan Menjungkirbalikkan Politik Nasional Eropa

Gelombang Partai Ultra Kanan Menjungkirbalikkan Politik Nasional Eropa

Internasional
Hunter Biden Dinyatakan Bersalah, Apa Dampaknya bagi Joe Biden?

Hunter Biden Dinyatakan Bersalah, Apa Dampaknya bagi Joe Biden?

Internasional
Berbagai Cara Rusia Pakai Jalur Rahasia untuk Dapatkan Barang Impor

Berbagai Cara Rusia Pakai Jalur Rahasia untuk Dapatkan Barang Impor

Internasional
Bocoran Percakapan yang Diklaim dari Pemimpin Hamas Sebut Kematian Warga Sipil adalah 'Pengorbanan yang Perlu'

Bocoran Percakapan yang Diklaim dari Pemimpin Hamas Sebut Kematian Warga Sipil adalah "Pengorbanan yang Perlu"

Internasional
Sosok 6 Calon Presiden Iran untuk Menggantikan Raisi

Sosok 6 Calon Presiden Iran untuk Menggantikan Raisi

Internasional
UU Siber Nigeria Dijadikan Alat untuk Bungkam Suara Kritis

UU Siber Nigeria Dijadikan Alat untuk Bungkam Suara Kritis

Internasional
Bagaimana Operasi Penyelamatan 4 Sandera Israel di Gaza Berlangsung?

Bagaimana Operasi Penyelamatan 4 Sandera Israel di Gaza Berlangsung?

Internasional
Narendra Modi Kembali Menangi Pemilu, Apa Artinya bagi Dunia?

Narendra Modi Kembali Menangi Pemilu, Apa Artinya bagi Dunia?

Internasional
Terputus dari Barat, Putin Melihat Peluang ke Timur

Terputus dari Barat, Putin Melihat Peluang ke Timur

Internasional
Mengapa Rusia Ingin Bangun Kembali Hubungan dengan Taliban?

Mengapa Rusia Ingin Bangun Kembali Hubungan dengan Taliban?

Internasional
Dampak Ketegangan Hezbollah-Israel bagi Lebanon

Dampak Ketegangan Hezbollah-Israel bagi Lebanon

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com