Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum di Kongo Gagal Melindungi Anak-anak dari Eksploitasi

Kompas.com - 08/03/2024, 12:37 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

PENGADILAN Amerika Serikat (AS) pada Selasa (5/3/2024) membebaskan lima perusahaan teknologi terbesar AS dari kasus dugaan dukungan terhadap tenaga kerja anak di pertambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo (DRC). Lima raksasa teknologi tersebut, yaitu Apple, Alphabet Inc., Google, Dell, Microsoft, dan Tesla dituduh "dengan sengaja mendapatkan manfaat dari dan membantu serta memberikan dukungan terhadap penggunaan anak-anak secara kejam dan brutal untuk menambang kobalt di Kongo". Demikian antara lain bunyi dokumen tudingan itu yang diterima ABC News.

Namun, dalam putusan pada Selasa tersebut, Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia menyatakan, perusahaan-perusahaan teknologi itu tidak dapat dianggap bertanggung jawab karena kelimanya tidak memiliki hubungan lebih dari sekadar "transaksi pembeli-penjual biasa" dengan pemasok di Kongo.

Baca juga: Kongo dalam Bayang-Bayang Kelam Genosida

Kongo telah lama menjadi perhatian internasional karena maraknya eksploitasi anak. Selain terpaksa bekerja meski masih di bawah umur, anak-anak Kongo masih harus menghadapi bahaya ketika bekerja, mulai dari kekerasan hingga kecelakaan kerja yang dapat menyebabkan kematian.

Sebetulnya, Kongo telah meratifikasi semua poin dari konvensi internasional terkait tenaga kerja anak. Namun, International Labor Organization (ILO) menemukan hukum Kongo belum cukup tegas untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi.

Tahun 2022, Kongo hanya membuat sedikit kemajuan dalam upaya menghapus bentuk-bentuk tenaga kerja anak. Di bulan Oktober tahun itu, Komisi Interdepartemen untuk Memerangi Pekerjaan Anak di Tambang dan Lokasi Pertambangan Rakyat meluncurkan Sistem Pemantauan Pekerjaan Anak.

Selain itu, Kementerian Tenaga Kerja juga merekrut kurang lebih 2.000 inspektur dan pengawas ketenagakerjaan, beberapa di antaranya akan dilatih untuk melakukan inspeksi di lokasi tambang. Presiden Kongo, Felix Tshisekedi, juga mengesahkan Undang-Undang No 22/067 untuk Pencegahan dan Perang Melawan Perdagangan Manusia, yang memperketat hukuman untuk perdagangan manusia.

Meskipun ada inisiatif baru untuk mengatasi tingkat tenaga kerja anak, Kongo hanya mengalami kemajuan yang sangat minim akibat adanya keterlibatan angkatan bersenjata nasional dalam bentuk-bentuk tenaga kerja anak. Sepanjang tahun 2022, Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Kongo diketahui telah menyediakan senjata dan amunisi kepada kelompok bersenjata non-negara yang memang dikenal selalu merekrut anak-anak. Ditambah dengan eskalasi konflik di bagian timur Kongo kian menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap eksploitasi.

Melibatkan Kelompok Bersenjata

Kelompok bersenjata non-negara, geng kriminal, dan jaringan penyelundupan ilegal yang beroperasi di Kongo menculik, merekrut, dan menggunakan anak-anak dalam konflik bersenjata. UNICEF dan organisasi internasional lainnya memperkirakan bahwa antara 40 hingga 70 persen kelompok bersenjata non-negara di Kongo bagian tengah melibatkan anak-anak, banyak di antaranya bahkan masih berusia lima tahun.

Kelompok bersenjata non-negara lain, Allied Democratic Forces, yang diketahui terhubung dengan ISIS-DRC juga dilaporkan aktif merekrut anak-anak di Provinsi North Kivu, South Kivu, dan Ituri di timur Kongo.

PBB memverifikasi bahwa sebanyak 1.545 anak Kongo telah direkrut dan digunakan dalam konflik bersenjata, termasuk memegang peran dukungan 643 anak, terjun langsung ke pertempuran sebanyak 585 anak, sebagai penjaga sebanyak 206 anak, sebagai mata-mata sebanyak 54 anak, sebagai jimat (merujuk pada kepercayaan bahwa anak-anak memiliki kekuatan magis) sebanyak 26 anak, dan dalam peran yang tidak dideskripsikan 31 anak.

Pada Oktober 2022, Human Rights Watch juga mengeluarkan klaim bahwa Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Kongo (FARDC) telah menyediakan amunisi kepada kelompok bersenjata Democratic Forces for the Liberation of Rwanda (FDLR) dan berkolaborasi dengan kelompok bersenjata Alliance of Patriots for a Free and Sovereign Congo, Coalition of Movements for Change, Nyatura, dan Nduma Defense of Congo-Renovated. Klaim ini telah diverifikasi oleh PBB pada tahun yang sama.

Baca juga: RI-Kongo Sepakati Kerja Sama Pelatihan Militer, Tambang, dan Budidaya Kelapa Sawit

Selain dipaksa terlibat dalam konflik bersenjata, anak-anak di Kongo juga banyak dieksploitasi untuk bekerja di pertambangan bahkan prostitusi.

Di wilayah timur Kongo yang paling terdampak konflik, anak-anak bekerja untuk mengekstraksi dan mengangkut timah, tantalum, tungsten, berlian, dan emas. Ribuan anak juga bekerja di tambang kobalt dan tembaga di wilayah selatan Copperbelt. Jumlah tenaga kerja anak paling banyak ada di sektor Artisanal and Small-Scale Mining (ASM).

Terjebak Kemiskinan Parah

Sebuah penelitian menemukan adanya tenaga kerja anak di 17 dari total 58 lokasi ASM yang disurvei. Di sektor ini, anak-anak harus menghadapi kondisi kerja yang berbahaya dan dalam beberapa kasus bahkan menjadi korban kerja paksa.

Kondisi demikian merupakan hal yang sangat sulit dihindari di Kongo. Selain hukum perlindungannya lemah, perekonomian Kongo juga lemah. Menurut data dari World Bank, Kongo merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Di tahun 2022, hampir 62 persen warga Kongo hidup hanya dengan kurang dari 2,15 dollar AS per hari (atau setara dengan Rp 33.543).

Akibat dari tingkat kemiskinan yang parah, maka pekerjaan dengan risiko sebesar apapun akan tetap para warga ambil selama dapat menghasilkan uang. Pertambangan-pertambangan ilegal memanfaatkan kondisi ini untuk mempekerjakan anak-anak demi meraup keuntungan sebesar mungkin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Pemungutan Suara di Paris Bikin Pulau Milik Perancis di Pasifik Mencekam, Mengapa?

Pemungutan Suara di Paris Bikin Pulau Milik Perancis di Pasifik Mencekam, Mengapa?

Internasional
Perjalanan Hubungan Rusia-China dari Era Soviet sampai Saat Ini

Perjalanan Hubungan Rusia-China dari Era Soviet sampai Saat Ini

Internasional
Pertemanan Rusia-China Makin Erat di Tengah Tekanan Barat

Pertemanan Rusia-China Makin Erat di Tengah Tekanan Barat

Internasional
Praktik 'Deepfake' di China Marak, Youtuber Asal Ukraina Jadi Korban

Praktik "Deepfake" di China Marak, Youtuber Asal Ukraina Jadi Korban

Internasional
Mengenal Peristiwa Nakba, Hilangnya Tanah Air Palestina

Mengenal Peristiwa Nakba, Hilangnya Tanah Air Palestina

Internasional
Apa Itu UU ‘Agen Asing’ Georgia dan Mengapa Eropa Sangat Khawatir?

Apa Itu UU ‘Agen Asing’ Georgia dan Mengapa Eropa Sangat Khawatir?

Internasional
Mengapa Presiden Putin Ganti Menteri Pertahanannya?

Mengapa Presiden Putin Ganti Menteri Pertahanannya?

Internasional
Lebanon Cemas di Tengah Meningkatnya Ketegangan Hezbollah-Israel

Lebanon Cemas di Tengah Meningkatnya Ketegangan Hezbollah-Israel

Internasional
Ramai soal Pengguna Media Sosial Blokir Artis-artis Ternama, Ada Apa?

Ramai soal Pengguna Media Sosial Blokir Artis-artis Ternama, Ada Apa?

Internasional
Jutaan Migran Tak Bisa Memilih dalam Pemilu Terbesar di Dunia

Jutaan Migran Tak Bisa Memilih dalam Pemilu Terbesar di Dunia

Internasional
Nasib Migran dan Pengungsi Afrika Sub-Sahara yang Terjebak di Tunisia

Nasib Migran dan Pengungsi Afrika Sub-Sahara yang Terjebak di Tunisia

Internasional
9 Mei, Hari Rusia Memperingati Kemenangan Soviet atas Nazi Jerman

9 Mei, Hari Rusia Memperingati Kemenangan Soviet atas Nazi Jerman

Internasional
Gelombang Panas Mengakibatkan Kesenjangan Pendidikan

Gelombang Panas Mengakibatkan Kesenjangan Pendidikan

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com