Setelah beberapa kali pemberontakan gagal bangsa Yahudi terhadap Romawi pada abad kedua Masehi, Kaisar Hadrianus kesal. Dia lalu memutuskan untuk menghapus nama Yudea dari wilayah tersebut. Dia menggantinya dengan Syria Palaestina. Itu terjadi tahun 135 M.
Perubahan itu sebagai bagian dari upaya Romawi meminimalisir identitas Yahudi dari wilayah tersebut (E. Mary Smallwood, "The Jews Under Roman Rule", 1976). Penggunaan nama Palestina itu merupakan bentuk pelecehan terhadap bangsa Yahudi. Nama Yudea tidak lagi dipakai. Nama yang justru digunakan adalah nama dari suku bangsa yang merupakan musuh bebuyutan mereka.
Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Bizantium (Romawi Timur) mempertahankan penggunaan nama Palestina untuk wilayah tersebut. Mereka memainkan peran penting dalam memelihara warisan budaya dan sejarah di Palestina.
Pada abad ke-7, Kekhalifahan Arab menduduki wilayah itu dan memperkenalkan Islam. Meskipun mereka tidak mengubah nama Palestina, mereka memberikan pengaruh signifikan pada budaya dan sejarah wilayah tersebut.
Pada abad ke-16, Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) mengambil alih Palestina dan menggantinya dengan nama "Filistin" dalam bahasa Arab. Selama pemerintahan Ottoman, nama Palestina kurang digunakan. Wilayah tersebut terbagi menjadi beberapa distrik yang dikelola secara terpisah.
Namun, adanya kepentingan strategis dan religius wilayah ini tetap membuatnya menjadi pusat perhatian, baik bagi penguasa Ottoman maupun bagi kekuatan-kekuatan Eropa yang mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Meskipun demikian, konsep Palestina sebagai sebuah entitas teritorial bersejarah tetap hidup dalam kesadaran kolektif berbagai kelompok etnis dan agama yang tinggal di wilayah tersebut.
Setelah jatuhnya Kesultanan Ottoman, Britania Raya menduduki Palestina dan menggunakan nama Palestina dalam konsep negara Mandat Britania atas Palestina. Nama ini terus digunakan hingga proklamasi Negara Israel pada tahun 1948.
Dalam periode Mandat Britania, nama Palestina resmi digunakan dalam konteks administrasi dan politik. Pada masa ini, upaya-upaya untuk mendirikan sebuah "tanah air" bagi bangsa Yahudi sesuai dengan Deklarasi Balfour 1917, berjalan beriringan dengan keinginan penduduk Arab untuk merdeka.
Kebijakan-kebijakan Inggris sering kali menimbulkan ketegangan antarkomunitas, yang memuncak dalam kekerasan pada tahun-tahun menjelang berakhirnya mandat.
Tahun 1948 menjadi titik krusial dalam sejarah Palestina dengan deklarasi kemerdekaan Negara Israel, yang diakui oleh komunitas internasional tetapi menimbulkan perang dengan negara-negara Arab tetangga.
Benny Morris, dalam "1948: A History of the First Arab-Israeli War" (2008), menggambarkan bagaimana pembentukan Israel mengubah peta geopolitik dan demografi wilayah tersebut secara dramatis.
Bagi komunitas Yahudi, ini adalah pemenuhan hasrat berabad-abad untuk kembali ke tanah leluhur, sedangkan bagi penduduk Arab Palestina, ini adalah awal dari periode panjang perjuangan dan diaspora, yang berujung pada konflik yang berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Nama Palestina, sejak itu lekat dengan konflik dan aspirasi untuk pembentukan sebuah negara Palestina merdeka yang diakui secara internasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.