Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Observasi kecil. Kita berjalan mengamati sepanjang lantai di dinding pinggir sebuah pesta perkawinan sesaat setelah acara makan prasmanan berlangsung. Tak pelak, kita akan menemukan bergunung-gunung nasi dengan beragam lauk-pauk teronggok di piring-piring yang (juga) teronggok di lantai. Miris.
Mengonsumsi makanan secara bebas telah menjadi upacara pemenuhan nafsu mengonsumsi yang dipicu dari indra penglihatan dan penciuman. Tamu berdesakan, berlomba mengambil makanan. Sebanyak-banyaknya. Jika makanan yang diambil dimakan habis, mungkin petani dan tukang masak akan tersenyum puas. Lain cerita jika makanan itu dibuang dan bakal menjadi sampah.
Kebanyakan dari kita tidak mampu melihat keterkaitan antara sumber daya alam dan berbagai benda yang kita konsumsi, termasuk makanan. Keterpecahan dalam melihat realitas lingkungan dan ekosistem di balik barang konsumsi tidak berdiri sendiri.
Fritjof Capra dalam The Turning Point secara gamblang menguraikan bagaimana pemikiran Cartesian (Descartes) telah mendorong cara pandang yang mekanistik,
Bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II yang memiskinkan negara-negara kuat dunia, paradigma pertumbuhan ekonomi dipandang tepat sebagai jalan keluar. Teknologi menjadi sarana meningkatkan produktivitas. Sumber daya alam dibongkar, berbagai benda konsumsi diciptakan menggunakan teknologi. Sementara proses ekologis dan keberlanjutan lingkungan pun hancur.
Ketika ide Cartesian mengotak-kotakkan berbagai hal, sebenarnya semua sistem justru dalam keterkaitan satu dengan yang lain. Thomas M Kostigen (You Are Here, 2008) menuturkan hal itu setelah berjalan memutari bola dunia untuk mengalami fakta keterkaitan antarsistem dan antarmakhluk.
Dia melacak jejak kerusakan akibat praktik pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan indikator produk domestik bruto. Saat kerusakan berlangsung masif, respons terhadap kerusakan demikian tidak memadai. Perusakan jauh lebih cepat dibandingkan dengan pemulihan. Penggundulan hutan menggunakan mesin berat berhektar-hektar sehari. Upaya memulihkan hutan membutuhkan puluhan tahun. Ekosistem dan keanekaragaman hayati tidak mungkin dikembalikan pada kondisi awalnya.
Kostigen berjalan dari Jerusalem (Israel), menjelajah ke Mumbai (India), Borneo (Kalimantan, Asia Tenggara), Kota Linfen (China), Shishmaref Village (Alaska), rimba Amazon (Amerika Latin), tempat pembuangan sampah Fresh Kills Landfill (New York, AS), Samudra Pasifik, Great Lakes, Duluth (Minnesota, AS), dan pulang ke kotanya Santa Monica (California, AS). Dia berpikir.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.