Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi Thailand Temukan 12 Jenazah Pekerja Migran Myanmar

Kompas.com - 04/06/2013, 02:24 WIB

BANGKOK, SENIN - Kepolisian Thailand, Senin (3/6), membenarkan telah menemukan sedikitnya 12 jenazah pekerja migran asal Myanmar terapung- apung di perairan lepas pantai barat negara itu. Kapal yang mereka tumpangi diduga tenggelam setelah dihantam cuaca buruk, Sabtu pekan lalu.

Polisi juga menemukan 38 orang yang selamat.

Menurut Mayor Jenderal Polisi Taweeporn Churin, Senin, enam jenazah pria dan tiga jenazah wanita ditemukan di dekat dua pulau di Provinsi Ranong, Thailand barat, dalam proses pencarian dua hari sebelumnya.

Provinsi Ranong terletak 460 kilometer arah selatan dari ibu kota Bangkok dan berbatasan langsung dengan Myanmar.

Menurut surat kabar Bangkok Post, aparat Kepolisian Laut Divisi 8 menemukan sembilan jenazah itu mengambang di dekat Pulau Chang di Distrik Muang, Ranong, Minggu.

Sehari sebelumnya, tiga jenazah lain ditemukan mengambang di dekat perairan Myanmar. Kepolisian Thailand juga berkoordinasi dengan otoritas Myanmar untuk mencari para korban lain.

Selama ini para pekerja migran ilegal asal Myanmar diketahui kerap menyusup masuk ke wilayah Thailand. Selain menjadi salah satu negara tujuan mencari kerja, Thailand juga menjadi negara persinggahan.

Aparat keamanan Thailand belum memastikan dari kelompok etnis apa para pekerja migran yang ditemukan tewas tersebut berasal.

Akan tetapi, seperti sering diwartakan sebelumnya, kebanyakan pekerja migran itu berasal dari kelompok etnis minoritas Rohingya.

Jumlah pekerja migran ilegal dari etnis Rohingya diketahui melonjak setelah terjadi beberapa kali kerusuhan berdarah di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, tahun lalu.

Dari Thailand, banyak dari mereka mencoba menyeberang ke Malaysia melalui jalur darat. Selain bertaruh nyawa menyeberang ke negara lain dengan menumpang perahu-perahu seadanya melintasi lautan ganas, para pekerja migran ilegal itu juga kerap jatuh ke tangan sindikat perdagangan manusia.

Kebijakan diskriminatif

Dari Yangon, Myanmar, dikabarkan, juru bicara kepresidenan Myanmar, Ye Htut, menyatakan, Pemerintah Myanmar berjanji mempelajari kembali kebijakan pembatasan jumlah anak warga etnis Rohingya.

Kebijakan yang diterapkan Pemerintah Negara Bagian Rakhine itu mendapat kritik tajam dan kecaman dari komunitas internasional.

Kebijakan itu dinilai sangat diskriminatif karena hanya akan diterapkan terhadap warga etnis Rohingya. Warga kelompok minoritas itu hanya boleh memiliki dua anak per keluarga.

Kritik bahkan sampai disuarakan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) setelah sebelumnya juga datang dari sejumlah kelompok pejuang hak asasi manusia internasional, macam Human Rights Watch (HRW).

”Akan tetapi, di sana (Rakhine) memang ada masalah akibat tingginya pertumbuhan populasi dibandingkan dengan kawasan lain. Hal itu memicu masalah sosial-ekonomi,” ujar Ye.

Menurut Ye, pemerintah pusat akan merancang dan menerapkan sebuah aturan kependudukan yang lebih mengacu pada standar internasional.

Pemimpin oposisi dan pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, sempat menilai kebijakan itu diskriminatif dan melanggar HAM.

Namun belakangan, sikap Suu Kyi mendapat tentangan dari dalam partainya sendiri, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Sebanyak delapan kantor perwakilan NLD di Rakhine mengirim surat ke kantor pusat NLD di Yangon yang isinya menyatakan mereka mendukung kebijakan pembatasan anak bagi warga Rohingya tersebut.(AP/AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com