Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nobel Abaikan Konflik Myanmar

Kompas.com - 29/05/2013, 02:29 WIB

RENÉ L PATTIRADJAWANE

Akhirnya peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, Aung San Suu Kyi, angkat bicara soal etnis Rohingya yang selama setahun terakhir ini menjadi korban kekejian dan kekejaman pembantaian di Negara Bagian Rakhine. Namun, kita pun kecewa karena Suu Kyi yang memperoleh Hadiah Nobel bagi perjuangan nonkekerasan bagi demokrasi dan hak asasi manusia ternyata tidak bersikap sesuai dengan harapan penghargaan bergengsi itu.

Suu Kyi hanya berkomentar tentang rencana pemerintah lokal Myanmar di Rakhine untuk membatasi setiap keluarga Rohingya memiliki dua anak saja. Pernyataan Suu Kyi sendiri pun masih dengan keraguan dengan mengatakan, ”Jika itu ’benar’, itu bertentangan dengan hukum.”

Konflik sektarian antara kaum Rohingya yang beragama Islam dan Rakhine yang menjadi bagian dari mayoritas bangsa Myanmar beragama Buddha sudah mencapai titik menuju holocaust seperti perlakuan kaum Nazi Jerman menjelang Perang Dunia II terhadap kaum Yahudi Eropa. Myanmar berada dalam situasi demokrasi yang retak di tengah Suu Kyi yang tidak berdaya dengan Hadiah Nobel yang diperolehnya.

Dalam posisinya sebagai politisi di negara yang selama beberapa dekade dikuasai junta militer, Suu Kyi memiliki otoritas moral untuk berbicara dengan lantang dan keras tentang pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai pengejawantahannya. Transisi peran Suu Kyi yang berusia 67 tahun dari simbol dunia bagi perjuangan hak asasi menjadi politisi menjadikan ”The Lady” (julukannya) menunjukkan taringnya ketika disodorkan persoalan Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan dan tanpa hak apa pun.

Ada beberapa faktor yang menjelaskan posisi Suu Kyi sebagai politisi setelah dicap pembangkang dan meringkuk dalam tahanan rumah selama beberapa dekade. Pertama, pemilu Myanmar 2015 menjadi terlalu penting bagi Suu Kyi untuk diabaikan begitu saja berpotensi kehilangan pendukungnya menjadi presiden walaupun ambisinya terhalang karena batasan undang-undang dasar karena suaminya adalah orang asing.

Kedua, banyak sosiolog melihat semacam supremacy complex di balik konflik struktural dan horizontal di negara yang menghasilkan orang Asia pertama sebagai Sekjen PBB. Konflik sektarian di Myanmar dalam lingkup supremasi yang rasis ini tak hanya antara Rohingya dan Rakhine, tetapi juga di antara sejumlah etnis, seperti Burma-Shan, Karen-Burma, Shan-Wa, Mon-Burma, Burma-Tionghoa, bahkan antar-agama dan kepercayaan.

Ketiga, persoalan konflik sektarian di Myanmar adalah warisan kolonial Inggris yang menjadi bom waktu dan meledak kapan pun. Bom waktu ini menghiasi tradisi politik Myanmar yang penuh dengan kekerasan, termasuk pembunuhan ayah Suu Kyi, Jenderal Aung San, pada tahun 1947 ketika membahas rehabilitasi Myanmar dari kekuasaan kolonial Inggris.

Di sisi lain, pemerhati hubungan internasional, Santos Winarso, seusai diskusi ”Kesiapan Keketuaan Myanmar pada ASEAN 2014” di Malang, Jawa Timur, memperkirakan, konflik sektoral di Myanmar tak akan terselesaikan karena menjadi bagian penting kelangsungan politik kekuasaan ”predator militer” menempuh reformasi masa depannya. Itu berarti bahkan Aung San Suu Kyi sendiri akan mempertahankan konflik sektarian ini ketika berhasil memenangi pemilu tahun 2015.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com