Ketika sedang merakit kayu untuk menjadi tongkat, lelaki yang duduk di sebelahnya tiba-tiba berdiri dan lari lintang pukang. Si lelaki lalu memprovokasi warga kampung untuk menyerang petugas polhut itu.
Sekitar 30 warga kampung yang terprovokasi pun mencari polhut yang dimaksud. Mereka bertemu Agus. ”Mereka tanya saya, apa ada petugas polhut yang menyerang orang. Saya bilang, cuma ada saya di sini untuk mengumpulkan kayu bakar,” cerita Agus. Warga kemudian meninggalkan lokasi tersebut.
Agus juga pernah menyamar sebagai pedagang pengumpul kopi. Cara itu dia tempuh untuk menyita kayu yang disimpan dalam gudang milik seorang pedagang pengumpul kopi lokal.
Ia dipersilakan masuk ke gudang pedagang itu untuk mengecek butiran kopi yang akan dibeli. Agus pun melihat barang bukti kayu ilegal yang juga disimpan di gudang tersebut.
Seusai tawar-menawar harga kopi dan bertransaksi, lewat radio panggil, Agus meminta rekan-rekannya datang. Mereka pun berhasil menyita kayu ilegal di gudang itu.
Menjadi petugas polhut bisa diibaratkan siap bertaruh nyawa. Agus bercerita, suatu ketika di kawasan hutan dia bertemu dengan seorang pemuda yang tengah memikul sebatang kayu yang baru ditebang. Agus bermaksud bertanya baik-baik tentang lokasi kayu yang ditebang tersebut karena kayu itu termasuk jenis kayu langka.
Namun, si pemuda malah mengajak Agus berduel. ”Perlu satu jurus untuk merobohkannya,” ujar Agus mengibaratkan pertarungan yang mesti dia hadapi itu.
Kali lain dia bahkan pernah dikira sebagai tuyul. ”Ketika itu menjelang waktu shalat Subuh, saya melihat ada tiga penebang kayu sedang mandi di sungai dalam kawasan Hutan Sesaot,” katanya.
Untuk menangkap dan menyita barang bukti, Agus diam-diam menyelam di sungai itu, lalu mendadak muncul ke permukaan. Saking kagetnya melihat sosok manusia berkepala botak yang muncul dari dalam air saat kondisi alam masih gelap, para perambah pun langsung angkat kaki.
”Belakangan saya mendengar dari warga, mereka mengira saya itu tuyul. Makanya mereka langsung lari ketakutan,” cerita pria berkulit gelap dengan kepala plontos itu sambil tertawa.
Begitulah seorang ”panglima”. Selain piawai menyusun strategi dan memberi komando kepada anak buah, ia juga mampu menunjukkan kerja konkret di lapangan.