Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Panglima" Hutan Gunung Rinjani

Kompas.com - 06/04/2013, 04:20 WIB

KHAERUL ANWAR

Baik-buruknya citra dinas kehutanan menjaga kelestarian kawasan hutan amat bergantung pada kinerja petugas polisi kehutanan. Namun, tak semua petugas polisi kehutanan memahami tugas pokok dan fungsinya menjaga kelestarian hutan dari aksi perambahan dan penebangan liar. Padahal, peran hutan penting bagi paru-paru lingkungan, terutama bagi sumber air.

Agus Prayitno (52) adalah satu dari sedikit ”manusia langka” petugas polisi kehutanan (polhut). Meski mendekati masa pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS), ia tetap menjalankan tugas di kawasan hutan Gunung Rinjani yang total luasnya sekitar 125.000 hektar.

”Tugas polhut bukan duduk di belakang meja, tetapi di hutan. Polhut harus mengawasi catchment area (kawasan tangkapan air) dari oknum perambah dan penebang liar,” ujar Agus, pegawai pada Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat.

Oleh karena tugas itulah, dia jarang ke kantor untuk mengisi ”daftar hadir” dan apel pagi. Saat jadwalnya piket, ia langsung ke lapangan, terutama jika ada kejadian yang harus ditangani segera. Bagi Agus, tugas lebih penting ketimbang soal birokrasi dan administrasi.

Komitmennya pada tugas membuat rekan-rekannya mendukung Agus. Tumpukan puluhan meter kubik kayu sitaan di kantornya, berikut 13 gergaji mesin (chainsaw) hasil sitaan, merupakan hasil kerja Agus dan kawan-kawan.

Selama 30 tahun masa kerjanya sebagai PNS, yakni 3 tahun di Kabupaten Dompu dan 12 tahun di Kabupaten Sumbawa (keduanya di Pulau Sumbawa), sebagian besar tugasnya dihabiskan di lapangan. Hal itu juga ia lakukan di kawasan hutan Gunung Rinjani sejak dimutasi ke Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat selama 15 tahun terakhir.

Kinerjanya tidak diragukan. Oleh rekan sekantornya, Agus dijuluki ”panglima” di lapangan. Selain sebagai pengatur strategi, ia juga memandu polhut yunior memburu perambah dan penebang liar.

Mata air yang tersisa

Wilayah kerjanya adalah kawasan hutan Rinjani yang kini hanya 30 persen ditumbuhi kayu, sisanya habis ditebang orang. Indikasinya, dari 326 sumber mata air di kawasan itu pada 1980, kini hanya tersisa 56 sumber mata air.

Degradasi kawasan itu salah satunya dipicu oleh sejumlah peraturan, seperti regulasi yang melemahkan fungsi kontrol aparat polhut. Sebutlah aturan hasil hutan bukan kayu yang pemegang izinnya menyisihkan 2 persen dari total hasil hutan untuk retribusi.

Namun, dalam pelaksanaannya, justru pemegang izin hanya dipungut biaya Rp 1.000 per are per tahun. Apabila kebijakan itu tetap berjalan, Agus berujar, ”Saya khawatir 10 tahun lagi akan semakin parah kerusakan hutan Rinjani.”

Ketimbang memikirkan berbagai aturan itu, Agus memilih mengisi waktu dengan ”berjalan-jalan” di kawasan hutan. Lelaki yang pernah menjadi sopir angkutan umum, pengemudi truk antarpulau, dan mantan pegawai administrasi kantor pemerintah ini menjalani tugasnya dengan konsisten.

Ia siap setiap waktu masuk hutan, terutama jika ada laporan aktivitas perambahan dan penebangan ilegal. Terkadang ia sampai menginap di hutan dan tidur di bawah pohon beralas seadanya. Tak jarang, dalam tidurnya, Agus terusik seekor ular yang lewat merayap di tubuhnya.

Bahkan, saat cuti kerja pun, Agus tetap memonitor situasi dan keamanan kawasan hutan Rinjani, terutama kawasan tangkapan air, sumber air bagi penduduk dan irigasi sebagian besar areal sawah di Pulau Lombok.

Contohnya, sewaktu cuti di Malang, Jawa Timur, akhir Desember 2012, dari pantauan warga setempat diketahui bahwa pada pukul 16.00 ada mobil angkutan penumpang yang tengah mengisi kayu hasil tebangan ilegal di kawasan Hutan Sesaot, Lombok Barat, masih dalam kawasan hutan Rinjani.

Dari Malang, Agus menelepon mitra kerjanya agar membantu mencegah pengangkutan kayu ilegal itu. Hasilnya, si sopir tertangkap dan kayu pun disita.

Menyamar

Tugas sebagai polhut ibarat kerja intelijen. Dalam menjalankan tugas, Agus melepas atribut dan seragam korpsnya. Ia berpakaian seperti warga desa setempat. Dengan strategi itu pun, masih ada orang yang mengenalnya.

Seperti saat ia mendapati dua lelaki sedang menggergaji beberapa batang kayu tebangan di kawasan Hutan Sesaot. Agus lalu meminjam parang kepada mereka. Alasannya, untuk membuat tongkat.

Ketika sedang merakit kayu untuk menjadi tongkat, lelaki yang duduk di sebelahnya tiba-tiba berdiri dan lari lintang pukang. Si lelaki lalu memprovokasi warga kampung untuk menyerang petugas polhut itu.

Sekitar 30 warga kampung yang terprovokasi pun mencari polhut yang dimaksud. Mereka bertemu Agus. ”Mereka tanya saya, apa ada petugas polhut yang menyerang orang. Saya bilang, cuma ada saya di sini untuk mengumpulkan kayu bakar,” cerita Agus. Warga kemudian meninggalkan lokasi tersebut.

Agus juga pernah menyamar sebagai pedagang pengumpul kopi. Cara itu dia tempuh untuk menyita kayu yang disimpan dalam gudang milik seorang pedagang pengumpul kopi lokal.

Ia dipersilakan masuk ke gudang pedagang itu untuk mengecek butiran kopi yang akan dibeli. Agus pun melihat barang bukti kayu ilegal yang juga disimpan di gudang tersebut.

Seusai tawar-menawar harga kopi dan bertransaksi, lewat radio panggil, Agus meminta rekan-rekannya datang. Mereka pun berhasil menyita kayu ilegal di gudang itu.

Bertaruh nyawa

Menjadi petugas polhut bisa diibaratkan siap bertaruh nyawa. Agus bercerita, suatu ketika di kawasan hutan dia bertemu dengan seorang pemuda yang tengah memikul sebatang kayu yang baru ditebang. Agus bermaksud bertanya baik-baik tentang lokasi kayu yang ditebang tersebut karena kayu itu termasuk jenis kayu langka.

Namun, si pemuda malah mengajak Agus berduel. ”Perlu satu jurus untuk merobohkannya,” ujar Agus mengibaratkan pertarungan yang mesti dia hadapi itu.

Kali lain dia bahkan pernah dikira sebagai tuyul. ”Ketika itu menjelang waktu shalat Subuh, saya melihat ada tiga penebang kayu sedang mandi di sungai dalam kawasan Hutan Sesaot,” katanya.

Untuk menangkap dan menyita barang bukti, Agus diam-diam menyelam di sungai itu, lalu mendadak muncul ke permukaan. Saking kagetnya melihat sosok manusia berkepala botak yang muncul dari dalam air saat kondisi alam masih gelap, para perambah pun langsung angkat kaki.

”Belakangan saya mendengar dari warga, mereka mengira saya itu tuyul. Makanya mereka langsung lari ketakutan,” cerita pria berkulit gelap dengan kepala plontos itu sambil tertawa.

Begitulah seorang ”panglima”. Selain piawai menyusun strategi dan memberi komando kepada anak buah, ia juga mampu menunjukkan kerja konkret di lapangan.

• Lahir: Mataram, Nusa Tenggara Barat, 23 Agustus 1960 • Pekerjaan: Pegawai negeri sipil • Istri: Desak Ketut Sekardewi • Anak: - Bagus Nugroho- Yogo Widiarto • Pendidikan:- SD Negeri III Mataram, - lulus 1972- SMP Negeri I Mataram, 1975- SMA Negeri I Mataram, - 1980/1981

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com