Kedatangan mereka ke Sabah bukan dalam rangka mengungsi atau menjadi imigran gelap pencari kerja, seperti sering terjadi di kawasan perbatasan Malaysia-Filipina itu.
Kehadiran warga yang mengaku keturunan dan utusan Kesultanan Sulu di Filipina itu membawa misi besar. Mereka bertekad mengklaim dan mengambil kembali tanah warisan leluhurnya di Sabah.
Belakangan situasi berkembang memburuk. Antara kelompok penyusup dan aparat keamanan Malaysia terlibat baku tembak. Kontak tembak pertama kali terjadi, Jumat (1/3), yang memakan 14 korban jiwa. Hari Sabtu, jumlah korban tewas dari kedua belah pihak mencapai 27 orang, setelah terjadi baku tembak lagi di bagian lain Sabah.
Jumlah itu dikhawatirkan akan terus bertambah mengingat upaya pengejaran oleh aparat terus berlangsung. Kelompok penyusup juga mengaku tak mau menyerah dan akan terus melawan sampai Pemerintah Malaysia bersedia duduk satu meja untuk berunding.
Aksi nekat kelompok penyusup yang ”menginvasi” wilayah Sabah itu terjadi tak lama setelah Pemerintah Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan menandatangani kesepakatan damai pada Oktober 2012.
Beberapa saat sebelum kesepakatan damai ditandatangani, Jamalul Kiram III (74), Sultan Sulu saat ini, merasa dikhianati lantaran tanpa alasan jelas dikecualikan dari proses perundingan, yang difasilitasi Malaysia itu.
Profesor hukum Universitas Filipina, Harry Roque, seperti dikutip BBC, melihat seluruh peristiwa itu terkait satu sama lain. Semua kejadian itulah yang kemudian melatarbelakangi apa yang terjadi sekarang di Sabah.
Menurut Roque, lantaran kecewa, Kesultanan Sulu kemudian memilih memisahkan diri dan berupaya mengumpulkan kembali seluruh wilayah kerajaannya, yang tersebar di sejumlah kepulauan di Filipina Selatan hingga Sabah.