Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malam Mencekam di Gaza City

Kompas.com - 23/11/2012, 03:37 WIB

Musthafa Abd Rahman

Seiring dengan terbenamnya matahari, Selasa (20/11), suasana mencekam mulai merayapi Gaza City. Bersama datangnya kegelapan, kota itu bagaikan kota hantu. Tak ada lagi arus lalu lintas di jalan-jalan, toko-toko tutup, bahkan pejalan kaki pun tak terlihat.

Suasana pun terasa aneh karena Gaza City sedang berada dalam sebuah perang, seharusnya tidak sunyi seperti ini. Namun, ini merupakan sunyi yang menggelisahkan, bagaikan berada di mata badai, yang tenang di tengah prahara. Lalu, datanglah prahara itu.

Saat kegelapan sempurna telah menyelimuti Gaza, deru pesawat-pesawat tempur F-16 dan helikopter tempur Apache milik Israel mulai memenuhi langit Gaza City.

Bunyi pesawat nirawak, yang suaranya seperti berdering, bergaung tanpa henti sejak saat itu sampai pagi berikutnya. Pesawat-pesawat tanpa awak itu bertugas mencari, memotret, dan menandai sasaran-sasaran yang akan menjadi mangsa F-16 dan Apache.

Para pejuang Palestina pun tak tinggal diam. Roket-roket dari berbagai jenis yang mereka produksi mulai diluncurkan ke arah kota-kota di Israel. ”Gencatan senjata” sementara yang terjadi di Gaza sejak pagi karena kunjungan Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu dan Sekretaris Jenderal Liga Arab Nabil al-Arabi ke Gaza City kini terkoyak sudah.

Rentetan bunyi roket dari berbagai jenis yang ditembakkan pihak Israel dan faksi-faksi pejuang Palestina, khususnya Hamas, nyaris tak berhenti. Suara menggelegar yang memekakkan telinga terdengar terus- menerus sejak Selasa sekitar pukul 19.00 hingga Rabu pagi.

Kecewa

Seharusnya malam itu jadi malam perayaan warga Jalur Gaza yang berharap gencatan senjata resmi diumumkan. Bahkan, menurut berita yang beredar di Gaza City, warga akan turun ke jalan untuk merayakan kesepakatan gencatan senjata.

Namun, terlihat raut kecewa mereka setelah sejumlah stasiun televisi memberitakan perundingan gencatan senjata yang dimediasi Mesir di Kairo gagal mencapai kesepakatan. Juru bicara Hamas, Fawzi Barhum, menuduh Israel tak bersedia menjawab usulan gencatan senjata dari Mesir sehingga kesepakatan gagal dicapai.

Berita kegagalan perundingan gencatan senjata diikuti Israel dengan meningkatkan gempurannya atas berbagai sasaran di Jalur Gaza. Mereka seolah ”kejar setoran” menghancurkan berbagai sasaran milik Hamas sebelum gencatan senjata benar-benar disepakati dan mereka tak bisa lagi bertindak.

Semakin malam, semakin membabi buta pesawat dan helikopter Israel menggempur berbagai sasaran di Israel. Kompas, yang menumpang bermalam di salah satu apartemen warga Gaza di Distrik Al Rimal, dibuat tidak bisa tidur sepanjang malam karena dahsyatnya pertempuran.

Keputusan menginap di distrik itu diambil atas rekomendasi warga Indonesia bernama Hussein, yang kebetulan bertemu di sebuah restoran di depan Rumah Sakit Shifa, Selasa sore. Menurut Hussein, Distrik Al Rimal dikenal jarang menjadi sasaran gempuran Israel karena bukan kawasan tempat tinggal para tokoh Hamas atau faksi pejuang Palestina lainnya.

”Penghuni di Distrik Al Rimal adalah warga biasa, bukan tokoh-tokoh Palestina. Tidak ada tokoh Hamas yang tinggal di sini. Israel tahu persis identitas para penduduk di distrik ini,” ungkap Izzuddin, putra pemilik apartemen tempat kami menginap malam itu.

Namun, keterangan itu tak menyurutkan rasa takut yang begitu mencekam. Dari balik jendela terlihat jalanan kosong, hanya satu-dua mobil lewat dengan kecepatan sangat tinggi.

Jendela bergetar

Kepanikan mulai melanda ketika gempuran pesawat-pesawat Israel terasa semakin dekat dengan tempat Kompas bermalam. Suara rudal-rudal Israel yang terbang di dekat apartemen, bahkan kadang melintas tepat di luar jendela kamar, membuat kaca jendela apartemen bergetar.

Kamar saya waktu itu berada di lantai tiga, yang artinya berada di ketinggian. Tak terelakkan lagi terbayang apa jadinya andai salah satu dari rudal-rudal itu nyasar menghajar dinding kamar ini.

Rabu dini hari, sekitar pukul 02.00, terjadi ledakan sangat dahsyat pada jarak sekitar 400 meter dari apartemen ini. Gelegar bunyi ledakan rudal itu membuat saya terloncat dari tempat tidur. Terlintas sebersit pikiran, rumah siapakah yang terkena rudal itu dan berapa orang lagi yang harus mati di Gaza malam ini...?

Tak tahan lagi dengan suasana penuh teror itu, saya menghubungi Jamal Yusuf al- Kharazin, pemilik apartemen itu yang juga tak bisa tidur, untuk meminta pindah ke tempat yang lebih aman. Saya menanyakan apakah dia memiliki ruang bawah tanah untuk berlindung, tetapi dia menggeleng. Saya baru sadar, bahkan di tengah suasana perang yang hampir setiap hari mengancam, tak semua warga Gaza memiliki ruang perlindungan khusus di bawah tanah.

Al-Kharazin mempersilakan saya pindah dari kamar di lantai tiga ke kamar di lantai dua. Akhirnya, dengan rasa pasrah yang tersisa, saya pun pindah ke kamar itu.

Esok paginya, Israel mengklaim telah menggempur sekitar 100 sasaran sepanjang malam itu. Di antara sasaran yang diserang Israel adalah kantor kementerian urusan wanita dan anak, beberapa bank, dan jembatan di jalan pantai yang menghubungkan Gaza City dengan Jalur Gaza selatan.

Bagi warga Jalur Gaza, kehidupan di tengah gelegar ledakan dahsyat bom atau bahan peledak lainnya seolah sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Mereka bahkan terkesan secara psikologis sudah siap menerima risiko apa pun, termasuk kehilangan nyawa.

”Kami di sini sudah biasa mendengar ledakan bom sejak 30 tahun lalu. Bagi warga Gaza, sudah biasa tidur di tengah bunyi ledakan,” tutur Al-Kharazin pelan....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com