Keberadaan milisi-milisi bersenjata itu menjadi dilema yang dihadapi pemerintahan baru di Libya setelah rezim Khadafy digulingkan tahun lalu.
Mereka dulunya merupakan bagian dari pasukan pemberontak yang bertempur melawan pasukan Khadafy, tetapi kemudian tidak membubarkan diri setelah revolusi selesai. Mereka masih memegang senjata berat, seperti meriam anti-serangan udara dan RPG, dan lebih kuat daripada pasukan resmi pemerintah.
Meski bukan aparat keamanan resmi negara, pemerintah membutuhkan mereka untuk mengendalikan keamanan. Sebagian dari mereka, seperti Rafallah al-Sahati, Brigade 17 Februari, dan Tameng Libya, menyatakan mendukung pemerintah dan bahkan menerima gaji resmi.
Namun, sebagian lagi memilih haluan yang lebih radikal dan secara terbuka menentang pemerintahan demokratis dan bahkan dunia Barat.
Setelah insiden penyerangan tersebut, Presiden Kongres Nasional Libya Mohammed al-Megarif menyerukan kepada para demonstran agar bisa membedakan antara milisi yang ”legal” dan ”ilegal”.(AFP/Reuters/AP/DHF)