Sikap keras kepala Pemerintah Suriah dan oposisi yang tak mau menghentikan pertempuran memaksa Perserikatan Bangsa- Bangsa memutuskan menghentikan misi tim pemantau mereka di negeri itu.
Wartawan Kompas,
Beberapa mobil ambulans Turki ikut menyeberang perbatasan menjemput korban. Puluhan penduduk Maarit Misrin dan Taftanas terpaksa mengungsi ke Adhme yang bertetangga untuk mencari perlindungan.
Adhme masih dianggap kota paling aman di Suriah saat ini. Namun, pengeboman dari pesawat dan helikopter tempur pemerintah ke sekitar Adhme menimbulkan kekhawatiran bahwa Adhme juga akan digempur. Setelah berada di Adhme selama sekitar 6 jam, Kompas pun terpaksa keluar dari Adhme dan kembali ke Turki.
Dilaporkan, sekitar 240 korban tewas akibat serangan udara, Kamis, di Rief Idlib, Aleppo, dan Damaskus. Sedikitnya 30 rumah di Taftanas hancur total. Hassan Haji (70), warga Maarit Misrin, mengatakan, separuh kotanya hancur digempur pesawat MIG 23. ”Saya baru tiba di Adhme untuk mencari perlindungan karena kota saya sudah hancur,” tutur Haji.
Warga Maarit Misrin lain, Abdul Hamid (37), mengatakan meninggalkan kota bersama puluhan warga lain, tetapi sebagian besar langsung menyeberang ke Turki. ”Saya bertahan dulu di sini. Namun, jika situasi memburuk, saya akan menyeberang ke Turki karena fasilitas di Adhme tidak memadai,” tuturnya.
Menurut Hamid, bunyi helikopter atau pesawat terbang kini paling ditakuti karena segera disusul ledakan bom yang membabi buta.
Mustafa (35), sopir ambulans, mengungkapkan sudah beberapa kali membawa korban dari Maarit Misrin dan Taftanas ke Adhme. ”Kota ini menjadi penampungan sementara sebelum korban dibawa ke Turki karena masih relatif aman,” ujarnya.