Brad Adams menyayangkan reaksi dunia internasional yang terkesan lambat. Ia mendesak negara Barat dan Amerika Serikat untuk tidak dibutakan oleh ”narasi romantis” tentang proses reformasi dan perubahan yang sedang terjadi di Myanmar.
Sehari sebelumnya, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyerukan agar komunitas Muslim di seluruh dunia memberikan bantuan kemanusiaan, finansial, dan politis kepada warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan di Myanmar.
”Ini sebuah krisis kemanusiaan yang sangat besar, tetapi sayangnya sebagian besar komunitas internasional dan Muslim di dunia tidak menyadari dimensinya,” tutur Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu dalam jumpa pers, Selasa.
Sementara itu, koalisi organisasi advokasi HAM Human Rights Working Group (HRWG) di Jakarta mengeluarkan pernyataan yang mengecam terjadinya pelanggaran HAM terhadap warga etnis Rohingya. Menurut HRWG, ASEAN tidak bisa tinggal diam dan harus mengambil peran dan perhatian khusus terhadap kasus ini.
Di sela acara berbuka puasa bersama di kantor Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merasa prihatin dengan diskriminasi dan represi terhadap warga Rohingya di Myanmar.
”Namun, tentunya, kepedulian itu harus ditunjukkan dengan peran Indonesia sebagai bagian dari solusi sehingga ke depan masalah itu tidak terjadi lagi di Myanmar,” tutur Marty.
Menlu Myanmar Wunna Maung Lwin, Senin lalu, menyatakan, aparat keamanan di Rakhine telah benar-benar menahan diri saat mengatasi kerusuhan dan ketika mencoba memulihkan kembali situasi dan keamanan.
Lwin juga menegaskan kerusuhan di Rakhine bukan dilandasi masalah agama. Menurut dia, berbagai upaya pihak luar untuk mengarahkan isu itu menjadi isu agama memang sengaja mencoba ”memolitisasi dan menginternasionalisasi” masalah yang terjadi.