Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aparat Terlibat Kerusuhan

Kompas.com - 02/08/2012, 03:03 WIB

Bangkok, Rabu - Aparat keamanan Myanmar terlibat dalam aksi pembunuhan, pemerkosaan, dan penangkapan massal warga Rohingya saat terjadi kerusuhan bernuansa sektarian di kawasan Rakhine, Myanmar barat, Juni lalu.

Penegasan itu disampaikan organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di New York, AS, Human Rights Watch (HRW), Rabu (1/8). HRW merilis laporan setebal 56 halaman mengenai kondisi di Rakhine yang disusun berdasarkan 57 wawancara dengan warga Rakhine dan Rohingya.

Selain melakukan sendiri berbagai aksi kekerasan itu, aparat keamanan Myanmar juga dilaporkan telah membiarkan aksi brutal yang dilakukan warga Rakhine terhadap kelompok etnis minoritas Rohingya.

Dalam laporan itu disebutkan, pasukan paramiliter hanya berdiam saat massa warga Rakhine mulai menyerang dan membakar rumah warga Rohingya di ibu kota Rakhine, Sittwe, 12 Juni.

Saat warga Rohingya berusaha menghentikan aksi pembakaran itu, polisi dan pasukan paramiliter Pemerintah Myanmar malah menembaki mereka dengan peluru tajam.

”Saat orang-orang berusaha memadamkan api, pasukan paramiliter menembaki kami dan massa (warga Rakhine) memukuli kami dengan tongkat-tongkat besar,” tutur seorang warga Rohingya di Sittwe.

”Aparat keamanan Myanmar gagal melindungi warga Arakan (sebutan lain Rakhine) dan Rohingya dari serangan satu sama lain. Dan setelah itu, melancarkan aksi kekerasan dan penangkapan massal terhadap warga Rohingya,” papar Brad Adams, Direktur Asia HRW.

Adams juga mempertanyakan klaim Pemerintah Myanmar yang menyatakan berkomitmen mengakhiri konflik bernuansa sektarian tersebut. Padahal, kenyataannya berbagai bentuk kekerasan dan pertikaian etnis masih terus terjadi sampai sekarang.

Pemerintah Myanmar secara resmi menyebut 78 orang tewas dari kedua pihak yang bertikai dalam kerusuhan tersebut. Namun, HRW menduga angka tersebut jauh di bawah angka korban tewas sesungguhnya.

Menurut laporan tersebut, ratusan pria dewasa dan anak laki-laki dari etnis Rohingya ditangkap dan tak diketahui nasibnya hingga kini. Tidak hanya itu, lanjut Adams, berbagai bentuk penyiksaan dan diskriminasi yang disponsori negara juga terus berlangsung.

Brad Adams menyayangkan reaksi dunia internasional yang terkesan lambat. Ia mendesak negara Barat dan Amerika Serikat untuk tidak dibutakan oleh ”narasi romantis” tentang proses reformasi dan perubahan yang sedang terjadi di Myanmar.

Serukan bantuan

Sehari sebelumnya, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyerukan agar komunitas Muslim di seluruh dunia memberikan bantuan kemanusiaan, finansial, dan politis kepada warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan di Myanmar.

”Ini sebuah krisis kemanusiaan yang sangat besar, tetapi sayangnya sebagian besar komunitas internasional dan Muslim di dunia tidak menyadari dimensinya,” tutur Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu dalam jumpa pers, Selasa.

Sementara itu, koalisi organisasi advokasi HAM Human Rights Working Group (HRWG) di Jakarta mengeluarkan pernyataan yang mengecam terjadinya pelanggaran HAM terhadap warga etnis Rohingya. Menurut HRWG, ASEAN tidak bisa tinggal diam dan harus mengambil peran dan perhatian khusus terhadap kasus ini.

Di sela acara berbuka puasa bersama di kantor Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merasa prihatin dengan diskriminasi dan represi terhadap warga Rohingya di Myanmar.

”Namun, tentunya, kepedulian itu harus ditunjukkan dengan peran Indonesia sebagai bagian dari solusi sehingga ke depan masalah itu tidak terjadi lagi di Myanmar,” tutur Marty.

Pembelaan Myanmar

Menlu Myanmar Wunna Maung Lwin, Senin lalu, menyatakan, aparat keamanan di Rakhine telah benar-benar menahan diri saat mengatasi kerusuhan dan ketika mencoba memulihkan kembali situasi dan keamanan.

Lwin juga menegaskan kerusuhan di Rakhine bukan dilandasi masalah agama. Menurut dia, berbagai upaya pihak luar untuk mengarahkan isu itu menjadi isu agama memang sengaja mencoba ”memolitisasi dan menginternasionalisasi” masalah yang terjadi. (AP/REUTERS/AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com