Penegasan itu disampaikan organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di New York, AS, Human Rights Watch (HRW), Rabu (1/8). HRW merilis laporan setebal 56 halaman mengenai kondisi di Rakhine yang disusun berdasarkan 57 wawancara dengan warga Rakhine dan Rohingya.
Selain melakukan sendiri berbagai aksi kekerasan itu, aparat keamanan Myanmar juga dilaporkan telah membiarkan aksi brutal yang dilakukan warga Rakhine terhadap kelompok etnis minoritas Rohingya.
Dalam laporan itu disebutkan, pasukan paramiliter hanya berdiam saat massa warga Rakhine mulai menyerang dan membakar rumah warga Rohingya di ibu kota Rakhine, Sittwe, 12 Juni.
Saat warga Rohingya berusaha menghentikan aksi pembakaran itu, polisi dan pasukan paramiliter Pemerintah Myanmar malah menembaki mereka dengan peluru tajam.
”Saat orang-orang berusaha memadamkan api, pasukan paramiliter menembaki kami dan massa (warga Rakhine) memukuli kami dengan tongkat-tongkat besar,” tutur seorang warga Rohingya di Sittwe.
”Aparat keamanan Myanmar gagal melindungi warga Arakan (sebutan lain Rakhine) dan Rohingya dari serangan satu sama lain. Dan setelah itu, melancarkan aksi kekerasan dan penangkapan massal terhadap warga Rohingya,” papar Brad Adams, Direktur Asia HRW.
Adams juga mempertanyakan klaim Pemerintah Myanmar yang menyatakan berkomitmen mengakhiri konflik bernuansa sektarian tersebut. Padahal, kenyataannya berbagai bentuk kekerasan dan pertikaian etnis masih terus terjadi sampai sekarang.
Pemerintah Myanmar secara resmi menyebut 78 orang tewas dari kedua pihak yang bertikai dalam kerusuhan tersebut. Namun, HRW menduga angka tersebut jauh di bawah angka korban tewas sesungguhnya.
Menurut laporan tersebut, ratusan pria dewasa dan anak laki-laki dari etnis Rohingya ditangkap dan tak diketahui nasibnya hingga kini. Tidak hanya itu, lanjut Adams, berbagai bentuk penyiksaan dan diskriminasi yang disponsori negara juga terus berlangsung.