”Saya menolak hak moral PBB dalam mengadili Khmer Merah,” ujar Francois Ponchaud yang kini berusia 73 tahun di Phnom Penh, Kamboja, Minggu (25/3). Dia pernah dipaksa meninggalkan Phnom Penh ketika komunis mengambil alih kekuasaan pada tahun 1975.
”PBB mendukung Khmer Merah selama 14 tahun demi alasan geopolitik di era Perang Dingin. Saya tidak mengerti mengapa PBB sekarang memberi kepada diri sendiri hak mengadili pelaku kekejaman yang dahulu mereka dukung,” katanya.
Pada dekade 1970-an, masa yang dianggap sangat memalukan bagi PBB, Khmer Merah malah diperbolehkan terus duduk di kursi Sidang Umum PBB. Pada era itulah kejahatan Khmer Merah terhadap warga amat luar biasa.
Pada 2006, Pemerintah Kamboja dan PBB mendirikan pengadilan di Phnom Penh. Ini adalah dalam rangka mencari keadilan bagi dua juta orang yang tewas di bawah kekuasaan rezim tersebut. Khmer Merah berkuasa antara kurun waktu 1975 dan 1979.
Akhir tahun lalu, pengadilan bentukan PBB tersebut berupaya menyeret mantan Deputi Pemimpin Khmer Merah Noun Chea, mantan Menteri luar Negeri Ieng Sary, dan Kepala Negara Khieu Samphan.
Semuanya menyangkal telah berbuat kejahatan, pemusnahan massal, dan melawan kemanusiaan. Pengadilan didukung sebagai proses penegakan sejarah yang masih menyisakan trauma di Kamboja.
Ponchaud, seorang misionaris Katolik, adalah salah satu yang vokal. Dia kembali ke Kamboja tahun 1993.
Pastor ini mengatakan, proses legal soal kekejaman itu menisbikan banyak sekali aspek kultural yang sensitif. Pengadilan tersebut memberlakukan ide Barat yang dipaksakan di negara yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha.
”Ini merupakan kesalahan monumental. Orang Kamboja tidak memerlukan pengadilan ini. Ini merupakan intervensi orang Barat yang justru menjadi penyebab banyak kesakitan ketimbang penyembuhan. Pengadilan ini justru mengungkapkan lagi segala penderitaan yang sebenarnya sudah mulai dilupakan oleh orang Khmer,” katanya.
Ponchaud pernah tinggal selama beberapa tahun di pedalaman Kamboja. Dia yakin negara tersebut memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan konflik, dan hal itu tidak perlu melalui keputusan pengadilan.
Banyak orang yang selamat dari kekejaman rezim Khmer Merah. Para mantan pendukung
Mereka yakin karma telah ditetapkan pada kehidupan berikutnya. ”Konsep hak asasi manusia merupakan konsep berbau Yahudi-Kristiani. Bagi Buddhis, manusia tidak eksis. Ketika Anda mati, Anda akan mengalami reinkarnasi,” katanya.
Akan tetapi, pastor tersebut juga tidak menyangkal ada kejahatan yang terjadi di bawah pemerintahan komunis yang memperbudak rakyat dan menciptakan utopia untuk mencapai negara agraris. Dia masih terkenang dengan evakuasi massal dari Phnom Penh pada 17 April 1975.
Ketika itu, lebih dari dua juta penduduk, termasuk anak muda, orang tua, perempuan hamil, dan pasien rumah sakit, harus meninggalkan rumah untuk bekerja di pedalaman.
Pastor Ponchaud adalah salah satu orang asing terakhir yang keluar dari Kamboja pada Mei tahun itu.