Suriah dipimpin Hafez al-Assad sejak 1971 hingga 2000. Sepeninggal Hafez, jabatan presiden dilanjukan oleh putranya, Bashar. Bapak dan anak ini berasal dari etnis Alawite yang merupakan kelompok minoritas.
Seiring dengan gerakan prodemokrasi di dunia Arab, warga Suriah juga melakukan tuntutan serupa sejak awal 2011. Menurut PBB, sekitar 5.000 warga Suriah tewas dalam aksi protes prodemokrasi.
Untuk meredam keadaan fatal itu, dunia internasional terus menekan Pemerintah Suriah agar memberi ruang dan waktu kepada kubu reformis. Liga Arab yang beranggotakan 22 negara sudah mencoba melakukan pengiriman tim monitor ke Suriah.
Hal ini dirasakan belum cukup. Liga Arab menyusun draf baru, yang isinya meminta Assad mundur dan segera menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Farouk al-Sharaa dan Najah al-Attar. Presiden Suriah memiliki dua wakil.
Kesepakatan Liga Arab ini dibacakan oleh Perdana Menteri Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani dalam pertemuan badan itu di Kairo.
Liga Arab tidak bersatu dalam menekan Suriah, tetapi tetap menandatangani kesepakatan yang isinya menekan Assad. Selanjutnya Liga Arab menyerahkan draf itu ke Dewan Keamanan PBB, yang diharapkan melahirkan resolusi PBB.
Kubu Uni Eropa menyetujui langkah Liga Arab. Bahkan, kubu UE memperkuat sanksi terhadap Suriah dengan memasukkan 22 para pejabat Suriah dan 8 perusahaan Suriah ke dalam daftar hitam.
Akan tetapi, Lebanon menyatakan Liga Arab telah bertindak tidak jujur dan adil. Kubu Presiden Assad menuduh Liga Arab telah disusupi dengan aksi persekongkolan oleh Barat.