TUNIS, MINGGU
Walau tetap dibayangi sejumlah kekhawatiran dan ancaman kesulitan ekonomi dan angka pengangguran yang tetap tinggi, warga Tunisia menyambut peringatan tadi dengan penuh optimisme dan sukacita.
Mereka mengaku bangga lantaran sekarang bahkan seorang aktivis hak asasi manusia pun bisa menjabat presiden, sementara tokoh Islam moderat, yang dahulu dipenjara bertahun-tahun oleh rezim berkuasa, bisa menjadi seorang perdana menteri.
Semua itu dimungkinkan lantaran sekarang proses pemilihan umum di Tunisia bisa berlangsung dengan bebas, bahkan bisa dikategorikan sebagai pemilihan umum paling bebas dalam sejarah di negeri itu.
Kekacauan yang menandai titik awal revolusi di Tunisia terjadi pada 17 Desember 2010, dipicu aksi bakar diri seorang penjual jeruk yang frustrasi karena dilarang mencari nafkah.
Sang pedagang tewas, dan hal itu memicu kemarahan sekaligus solidaritas rakyat Tunisia di seluruh negeri. Tidak sampai sebulan, Ben Ali dipaksa turun dari kursi kekuasaannya. Dia kabur ke Arab Saudi, 14 Januari 2011.
Para peserta aksi peringatan meneriakkan kegembiraan dan takbir di sepanjang jalan yang mereka lewati. Selain bersukacita, mereka juga menangisi para korban tewas ketika itu, yang jumlahnya mencapai sedikitnya 200 orang.
Dalam peringatan tersebut turut hadir sejumlah pembesar perwakilan negara-negara Arab, seperti Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika yang pernah menentang protes yang terjadi di negerinya sendiri.
Selain itu, hadir juga kepala pemerintahan sementara Libya, Mustafa Abdel Jalil, yang pernah membantu pemimpin oposisi negerinya melawan Moammar Khadafy, dan Emir Qatar.