Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Iran Mulai Pengayaan Uranium di Bawah Tanah

Kompas.com - 10/01/2012, 03:48 WIB

TEHERAN, SENIN - Iran mengakui telah memulai proses pengayaan uranium di fasilitas nuklir bawah tanah di Fordow, sekitar 32 kilometer sebelah utara kota Qom, Senin (9/1). Pejabat Iran menegaskan, proses pengayaan tersebut dilakukan di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional.

”Seluruh aktivitas nuklir Iran, termasuk pengayaan uranium di fasilitas nuklir Natanz dan Fordow, berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA),” tutur utusan Iran untuk IAEA, Ali Asghar Soltanieh, kepada stasiun televisi Al-Alam.

Sebelumnya, para diplomat di markas besar IAEA di Vienna, Austria, lebih dulu membenarkan dimulainya proses pengayaan uranium menjadi berkadar 20 persen di fasilitas yang dijaga ekstraketat tersebut.

Selain terletak sekitar 80 meter di bawah tanah, fasilitas nuklir di Fordow juga dilindungi sistem pertahanan rudal antiserangan udara. Sebuah markas militer juga terletak persis di sebelah fasilitas yang dijaga Garda Revolusi itu.

Fasilitas ini sudah lama dibangun Iran, tetapi baru diungkapkan secara terbuka kepada IAEA pada September 2009, setelah keberadaannya mulai tercium dinas intelijen Barat.

Pelaksanaan proses pengayaan ini menunjukkan tekad Iran untuk maju terus dengan program nuklirnya meski tekanan dunia Barat makin besar.

”Dimulainya proses pengayaan 20 persen di Fordow jelas meningkatkan risiko. Iran mulai sekarang akan memproduksi material fisi nuklir yang makin dekat dengan kadar untuk membuat senjata, dan itu dilakukan di tempat yang terlindung dari gangguan, jauh di dalam gunung,” papar Mark Fitzpatrick, pakar nuklir dari lembaga pemikiran International Institute for Strategic Studies.

Laporan IAEA, yang menginspeksi fasilitas nuklir di Fordow, pekan lalu, menyatakan, terdapat 348 mesin untuk memperkaya uranium beroperasi di tempat itu. IAEA mengatakan, fasilitas centrifuge yang dioperasikan di Fordow terlihat seperti perangkat standar generasi lama yang dioperasikan di Natanz.

Di Natanz sendiri terdapat 8.000 centrifuge yang mampu memperkaya uranium menjadi berkadar 20 persen. Kadar tersebut jauh di atas kadar 3,5 persen yang dibutuhkan sebagai bahan bakar reaktor nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.

Iran berdalih pihaknya membutuhkan uranium kadar 20 persen untuk dijadikan bahan bakar reaktor riset di Teheran yang berfungsi memproduksi radioisotop guna merawat pasien kanker. Namun, Barat meragukan Iran memiliki kemampuan teknis membuat radioisotop tersebut.

Uranium kadar 20 persen memang belum cukup untuk dijadikan bom nuklir, yang paling tidak membutuhkan uranium berkadar 90 persen. Namun, para pakar nuklir dari Barat mengatakan, tak dibutuhkan usaha terlalu berat untuk memperkaya uranium 20 persen menjadi 90 persen.

Menteri Pertahanan AS Leon Panetta mengatakan, Iran sampai saat ini masih dalam tahap membangun kemampuan dasar untuk membuat senjata nuklir suatu saat nanti. Namun, proses pembuatan senjata itu sendiri belum dimulai.

Dalam wawancara dengan stasiun televisi CBS, Minggu (8/1), Panetta juga kembali mengungkapkan kekhawatirannya apabila Israel melancarkan serangan sepihak terhadap Iran. Tindakan sepihak seperti itu bisa memicu aksi balas dendam Iran terhadap pasukan AS.

Program nuklir Iran tersebut memicu serangkaian sanksi ekonomi dari PBB dan negara-negara Barat. Iran sendiri balas mengancam akan menutup jalur pasokan minyak Selat Hormuz apabila Barat menerapkan sanksi embargo terhadap minyak Iran.

Hukuman mati

Ketegangan antara Iran dan AS semakin tinggi setelah pengadilan Iran dikabarkan menjatuhkan hukuman mati bagi seorang warga AS keturunan Iran yang dituduh sebagai agen dinas intelijen AS, CIA.

Otoritas Iran menuduh mantan prajurit Marinir AS, Amir Mirzaei Hekmati (28), sempat menjalani latihan khusus dan bertugas di markas pasukan AS di Irak dan Afganistan sebelum dikirim untuk memata-matai Iran. Ayah Hekmati, yang tinggal di Michigan, AS, menegaskan, anaknya bukan agen CIA dan masuk ke Iran untuk mengunjungi neneknya. (Reuters/AP/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com