Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Jeritan dan Pesan Terakhir Korban 9/11

Kompas.com - 08/09/2011, 15:28 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com — Serangan teroris 9/11 yang menewaskan hampir 3.000 orang di AS 10 tahun lalu menyimpan sejumlah kisah kemanusiaan, antara lain berupa jeritan, pesan, dan obrolan terakhir para koban. Mereka memohon kepada Tuhan dan meminta bantuan orang lain. Namun, akhirnya para korban yang menelepon atau mengirim pesan dari pusaran lokasi serangan itu tahu bahwa tidak ada yang mendengar jeritan mereka.

Kebanyakan korban serangan 11 September 2001 itu, ketika para pembajak mengubah empat pesawat komersial menjadi "rudal" yang menerjang Pentagon dan World Trade Center di New York, tewas tanpa sempat memberi pesan. Namun, berkat radio, ponsel, telepon-telepon kantor di Twin Towers dan bahkan telepon di dalam pesawat yang dibajak, sejumlah korban sempat menyampaikan pesan terakhir ke dunia luar.

Melissa Doi, seorang manajer berumur 32 tahun di IQ Financial Systems yang berkantor di Lantai 83 Menara Selatan World Trade Center, sempat menelepon layanan darurat selama setidaknya empat menit. Doi, dengan suara yang sangat ketakutan, kontras dengan nada tanpa emosi operator, menggambarkan betapa panas suhu di tempatnya berada dan itu membuatnya sulit bernapas.

"Saya akan mati, ya, kan?" jeritnya. "Tidak, tidak, tidak, tidak," jawab operator. "Saya akan mati," kata Doi lagi. "Bu, bu... panjatkan doamu," kata operator yang mencoba menenangkannya. "Tolong Tuhan," kata Doi. Percakapan itu berakhir tak lama setelah Doi menjerit dengan suara keras, "Tolong!"

Telepon lain ke layanan darurat adalah telepon terakhir dari broker asuransi Kevin Cosgrove ketika kantornya di Lantai 99 di Menara Selatan mulai ambruk. "Oh, Tuhan .... Aaaaarrggggghhhh!" Cosgrove, wakil presiden perusahaan pialang Aon Corp, terdengar berteriak pada pukul 09.58. Suaranya lalu menghilang di tengah suara tabrakan dari menara yang runtuh.

Para penumpang dan awak dari empat pesawat yang dibajak juga sempat membuat upaya terakhir agar tetap hidup. Pramugari pemberani Betty Ong, dalam pesawat American Airlines dari Boston dengan nomor penerbangan 11, menelepon menara kontrol. Ia dengan tenang menjelaskan bagaimana dua rekannya telah ditusuk. "Kokpit tidak menjawab telepon. Saya pikir kami sudah dibajak," katanya pada pukul 08.19. Kurang dari setengah jam kemudian, Ong dan semua penumpang pesawat itu lenyap dalam bola api di Menara Utara World Trade Center.

Alice Hoagland, ibu dari Mark Bingham, penumpang pesawat United Airlines dengan nomor penerbangan 93, mencoba menelepon putranya setelah melihat berita mengejutkan tentang pembajak pesawat. Mark tidak menjawab, maka Alice mengatakan kepadanya, suaranya sangat tenang dan layaknya seorang ibu, "Cobalah mengambil alih pesawat.... Kumpulkan sejumlah orang dan lakukan yang terbaik 0yang dapat kamu lakukan untuk mendapatkan kontrol (atas pesawat itu)."

Mark Bingham, yang Alice Hoagland panggil "sweetie" dalam pesan itu, diyakini telah membantu dalam memimpin sebuah perlawanan terhadap para pembajak yang menyebabkan pesawat yang mereka tumpangi akhirnya jatuh di sebidang lahan di Pennsylvania. Para pembajak semula ingin mengarahkan pesawat itu ke Washington.

Penumpang pesawat United dengan nomor penerbangan 175, Brian Sweeney, juga meninggalkan pesan untuk istrinya, Julie, hanya beberapa menit sebelum pesawat itu menabrak Menara Selatan. Setelah mendengar suara otomatis pada mesin penjawab, Sweeney meninggalkan pesannya dengan kata-kata sederhana, tetapi menyentuh. "Dengar, saya berada di pesawat terbang yang telah dibajak," katanya. "Saya hanya ingin kamu tahu saya benar-benar mencintaimu. Saya ingin kamu berbuat baik, berbahagialah. Sama juga buat orangtua saya dan semua orang. Saya benar-benar mencintaimu."

Sebagian besar keluarga korban tidak sempat  mengucapkan kata perpisahan. Korban yang tewas di World Trade Center bahkan banyak yang tidak teridentifikasi jenazahnya.

Ada sejumlah korban yang sempat melakukan obrolan terakhir dengan keluarga mereka. Beverly Eckert ingat betapa senangnya ia ketika menerima telepon dari suaminya, Sean Rooney, pada sekitar pukul 09.30. Ia menduga suaminya berhasil meloloskan diri dari kantornya di Twin Towers.

Namun, ia bilang sama saya, dia berada di lantai 105 dan saya langsung tahu bahwa Sean tidak akan pernah pulang. Setelah berbicara beberapa menit, ia berbisik, "'Saya mencintaimu." Itu dikatakan berulang. Lalu, tiba-tiba saya mendengar ledakan keras," tulis Eckert di majalah New York minggu ini. Setelah suara itu, suaminya masih hidup, tetapi mereka berdua tahu itu adalah suara gedung yang mulai runtuh. "Saya menyebut namanya berulang-ulang di telepon. Lalu saya hanya duduk meringkuk di lantai sambil memegang telepon."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com