Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Perdamaian di Jerusalem

Kompas.com - 23/08/2011, 03:20 WIB

Oleh Ibnu Burdah

Perdamaian final dan menyeluruh antara Israel dan Palestina tidak mungkin tercapai tanpa penyelesaian isu Jerusalem.

Status akhir Jerusalem tidak hanya amat menentukan terwujudnya perdamaian Palestina-Israel, tetapi juga berpengaruh terhadap penyelesaian konflik beberapa negara Arab dengan Israel antara lain mengenai isu Dataran Tinggi Golan dan lembah selatan Lebanon.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa keberanian menyentuh persoalan kota Jerusalem justru berakibat fatal. Masih segar dalam ingatan betapa optimistis Bill Clinton, Arafat, dan Ehud Barak memulai perundingan Camp David II tahun 2000. Optimisme yang cukup beralasan karena berbagai fakta di lapangan. Kondisi domestik Israel-Palestina, kawasan, dan internasional bisa dikatakan sangat mendukung proses perundingan itu.

Hasilnya, pemerintahan Ehud Barak yang didukung koalisi luas tumbang. Kebanyakan analis berpendapat, buyarnya koalisi itu tidak lepas dari keberanian Ehud Barak mengagendakan dan menegosiasikan isu Jerusalem dalam perundingan (Ninok Leksono dalam pengantar buku Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Terakhir, 2009).

Ada dokumen tentang permukiman Yahudi di Palestina yang menyebut posisi Ehud Barak saat itu hampir sama dengan Yitzhak Rabin. Rabin dibunuh tahun 1995 akibat langkahnya menandatangani perdamaian Oslo II.

Wacana kelompok-kelompok agama di permukiman Yahudi menunjukkan, nyawa Ehud Barak terancam jika Camp David II ditandatangani (Abdul Malik, al-Qadhiyyah al-Falistiniyyah). Padahal, sepanjang sejarah, Ehud Barak adalah satu-satunya Perdana Menteri Israel yang berani mengagendakan persoalan Jerusalem dalam negosiasi perdamaian dengan Palestina.

Jurang perbedaan

Pandangan Palestina dan Israel mengenai Jerusalem—baik pemerintahnya, kelompok-kelompok politik, maupun rakyatnya—masih dipisahkan oleh jurang perbedaan amat lebar meski upaya perdamaian telah berlangsung 20 tahun. Palestina berteguh pandang bahwa Jerusalem adalah satu, tidak terbagi, dan menjadi ibu kota masa depan negara Palestina.

Rakyat dan faksi-faksi di Palestina seperti menutup mata mengenai realitas di lapangan yang telah berubah banyak dalam waktu cukup lama. Mereka bukan lagi mayoritas di kota itu, bahkan bisa dikatakan minoritas kendati jumlahnya masih cukup besar dan terkonsentrasi di Jerusalem Timur yang strategis dan paling diperebutkan.

Sementara Israel berpendirian sebaliknya. Jerusalem adalah kota historik bagi umat Yahudi, utuh tidak terbagi, dan menjadi ibu kota Israel selamanya.

Saat ini Jerusalem berada dalam kontrol Pemerintah Israel dan secara sepihak diklaim sebagai ibu kota negara tersebut kendati dikecam PBB dan masyarakat dunia. Meski hampir tak ada negara yang mengakuinya, istana kepresidenan, perdana menteri, mahkamah agung, dan lembaga legislatif Israel berada di Jerusalem. Museum terbesar, universitas terbesar yakni Hebrew University, juga dibangun di situ.

Pengumuman pemerintahan Benjamin Netanyahu baru-baru ini untuk membangun ribuan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur dan direspons keras Palestina dan masyarakat internasional, makin membuktikan pentingnya kota tersebut dalam proses perdamaian.

Kondisi ini membuat negosiasi mengenai Jerusalem semakin tidak diterima dalam politik domestik Israel. Menguatnya posisi Israel di lapangan semakin mengeraskan sikap negara itu terhadap kota Jerusalem.

Celakanya, lebarnya jurang perbedaan tersebut tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh dan intensif dalam membahas dan menegosiasikan persoalan Jerusalem. Persoalan ini hampir selalu dihindari dalam berbagai negosiasi perdamaian semenjak formula perdamaian Madrid 1989-1990, Oslo I 1993, Oslo II 1995, Camp David II, Peta Jalan Damai 2004, Konferensi Annapolis, hingga Formula ”67” versi Obama yang belum begitu jelas.

Namun, formula terakhir itulah satu-satunya jalan negosiasi yang tersedia, setidaknya untuk saat ini. Formula tersebut jelas menekankan persoalan batas terluar negara Palestina ke depan atau otoritas Palestina saat ini. Penekanan itu hampir dipastikan untuk mendorong dibukanya kembali negosiasi Israel-Palestina yang belakangan macet.

Formula tersebut kemungkinan efektif untuk mendorong kedua pihak memulai negosiasi, tetapi sejauh ini belum ada tanda-tanda persoalan Jerusalem menjadi salah satu agendanya.

Realitas Jerusalem tampaknya tidak kunjung sinkron dengan sebutannya. Misalnya ur shalom dalam bahasa Ibrani yang berarti kota perdamaian, Yerushaloyim yang berarti warisan perdamaian-perdamaian, Madiinah al-salam yang berarti kota perdamaian, dan al-Quds yang berarti kota suci. Sayang, penyelesaian atas masalah Jerusalem menunjukkan semakin jauhnya kota itu dari nama-namanya.

Ibnu Burdah Pemerhati Timteng dan Dunia Islam, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com