Jika kekuatan ini belum dipatahkan karena loyalitas didasarkan pada aturan tentara bayaran, sulit terjadi peralihan kekuasaan kecuali Khadafy bisa disingkirkan. Pada bulan Ramadhan akan semakin sulit perubahan terjadi karena saat berpuasa kegiatan tempur mungkin juga berkurang. Inilah beban Eropa dan NATO yang tidak bisa diabaikan sehingga perjalanan konflik Libya bisa sampai akhir tahun ini.
Faktor lainnya mengapa Eropa gagal menggulingkan Khadafy meski sudah bermiliar dollar mesin perang dikerahkan dan bom serta roket dimuntahkan dari pesawat tempur canggih negara-negara Eropa adalah tidak totalitasnya pengerahan kekuatan tersebut.
Perkiraan terakhir yang muncul di Inggris, biaya perang di Libya dari negeri ini saja bisa mencapai 1 miliar poundsterling atau sekitar Rp 13 triliun. Ironisnya, dana ini dikeluarkan, padahal di sana-sini sedang terjadi pemotongan anggaran. Ribuan tentara bahkan terancam akan diberhentikan karena tidak kuat lagi membiayai mereka.
Demikian juga Perancis dan Jerman. Kedua negara yang ikut menjadi pilar NATO lebih memerhatikan kondisi dalam negerinya. Jadi, kalau revolusi di Libya mengandalkan Eropa kemungkinan besar kemajuannya tidak bisa dicapai dengan cepat.
Eropa sedang menghadapi musuh di depan mata, yakni krisis ekonomi yang disebabkan oleh salah urus di Yunani, kemudian merembet ke Irlandia, Portugal, dan bahkan mengancam Italia dan Spanyol.
Bagi sebagian politisi, serangan ke Libya merupakan kemewahan ketika warganya membutuhkan lapangan kerja. Pengerahan mesin perang ke Libya dianggap terlalu jauh dengan realitas di Eropa. Benua ini sedang dilanda krisis berat yang apabila ditunda terus bisa meruntuhkan ekonomi puluhan negara Eropa.
Saat ini musuh nyata adalah tingginya tingkat pengangguran dan lemahnya pertumbuhan. Jutaan orang menganggur atau dikenai PHK