Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Urus Sumber Daya Alam

Kompas.com - 13/06/2011, 03:28 WIB

FAISAL BASRI

Berdasarkan laporan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terakhir, Indonesia tidak tergolong di dalam kelompok 12 eksportir utama (top exporters), tetapi berada pada urutan buncit (ke-30) di kelompok middle-leading exporters.

Kalau khusus untuk sumber daya alam, tadinya saya menduga Indonesia masuk dalam kelompok leading exporter. Saya terbelalak. Ternyata sebaliknya, Indonesia berada di dalam kelompok leading importer untuk produk-produk sumber daya alam. Persisnya di urutan ke-14 dari 15 negara.

Ironisnya, Singapura yang tak punya sumber daya alam justru bertengger di kelompok leading exporter untuk sumber daya alam pada urutan ke-14.

Niscaya ada yang salah urus dalam pengelolaan sumber daya alam. Kita produsen minyak mentah, tetapi menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Asia. Sudah puluhan tahun kapasitas produksi kilang minyak kita tak bertambah, padahal konsumsi BBM naik cukup tinggi.

Pada tahun 2010, neraca perdagangan minyak mentah kita hanya surplus sebesar 1,5 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan BBM defisit sebesar 13 miliar dollar AS. Defisit BBM tahun ini diperkirakan bakal lebih besar lagi.

Salah urus terlihat pula pada hasil tambang bauksit. Seluruh produksi bauksit kita ekspor. Sementara itu, kita mengimpor seluruh alumina—yang notabene adalah produk turunan dari bauksit—untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium. Lebih dari separuh aluminium yang kita hasilkan dijual ke pasar luar negeri, sementara industri pengguna aluminium memenuhi kebutuhannya lebih banyak dari luar negeri.

Luar biasa kerugian ekonomi yang kita alami: kita menjual produk-produk sumber daya alam yang masih mentah seraya membeli produk-produk olahannya dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara bisa membuka era baru karena memberlakukan kewajiban untuk membangun fasilitas industri hilir di dalam negeri bagi usaha tambang. Undang-undang yang baru ini juga mengatur penyesuaian terhadap kontrak-kontrak tambang sebelumnya yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Sejumlah penyesuaian harus dilakukan untuk mengakomodasikan kepentingan nasional sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan mendasar dari undang-undang yang lama dan yang baru adalah perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan.

Pemerintah tetap mengakui kontrak-kontrak yang telah dibuat di masa lalu. Namun, dengan undang-undang yang baru, pemerintah berhak melakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan kontrak lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com