Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Urus Sumber Daya Alam

Kompas.com - 13/06/2011, 03:28 WIB

Pemerintah mulai melakukan negosiasi ulang dengan sejumlah perusahaan pemegang kontrak. Sejauh ini masih banyak persoalan yang belum disepakati. Namun, tampaknya kewajiban untuk mengolah lebih lanjut produk-produk pertambangan di dalam negeri bukan merupakan persoalan yang sangat krusial.

Masalahnya lebih pada kesiapan pemerintah mendukung perwujudan tekad itu, juga pengaturan kalau target pengolahan di dalam negeri mulai tahun 2014 tidak tercapai. Kesiapan infrastruktur pendukung merupakan salah satu masalah yang bisa menghambat. Rencana pendirian fasilitas pengolahan memang cukup banyak. Namun, tampaknya target masih sulit terwujud.

Oleh karena itu, agaknya pemerintah perlu menyusun rencana aksi dengan prioritas yang jelas, yang merupakan bagian dari rencana strategis jangka panjang agar sumber daya alam kita benar-benar dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan bagi keuntungan orang seorang atau kelompok orang, apalagi yang ”itu-itu” saja.

Apakah persoalan inti terletak pada isi kontrak semata sehingga harus dilakukan negosiasi ulang? Kontrak bagi hasil di sektor perminyakan diakui oleh kalangan internasional sebagai model kontrak yang baik. Bagi hasil pemerintah mencapai 85 persen, sedangkan perusahaan kontraktor hanya 15 persen. Penerapan cost recovery juga dipandang memadai karena pemerintah tidak ikut menanggung risiko bisnis. Persoalan banyak muncul dalam pelaksanaan, interpretasi, dan cakupan cost recovery serta pengawasan. Tak jarang pula muncul tarik-menarik kepentingan antara BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan besar boleh jadi juga karena pengawasan yang lemah dan masalah transparansi.

Yang juga kerap menimbulkan sengketa antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar serta antara perusahaan dan pemerintah daerah adalah karena formula bagi hasil yang dirasakan kurang adil. Pemerintah pusat hanya membagi hasil dari royalti, tetapi tidak untuk pajak. Karena itu, boleh jadi persoalannya terletak pada ketimpangan fiskal vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ketidakpuasan sejumlah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten inilah yang ditengarai memunculkan hasrat pemerintah daerah untuk turut memiliki saham di perusahaan pertambangan. Karena pemerintah daerah tak punya kemampuan fiskal untuk membeli saham, mereka dirangkul oleh pengusaha pemburu rente.

Ironisnya, pengusaha swasta tersebut tak mengeluarkan uang satu sen pun, melainkan berutang dengan mengalihkan saham yang didivestasi, tetapi bisa menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan konsorsium pemerintah daerah-pengusaha.

Memang, hak untuk menentukan saham yang didivestasikan ada pada pemerintah pusat. Namun, alangkah eloknya jika pemerintah pusat mendorong perusahaan tambang milik negara yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan tambang. Lebih baik lagi dengan mengakomodasikan aspirasi daerah. Dengan demikian, lambat laun ada alih teknologi dan manajemen yang meningkatkan kompetensi anak bangsa untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri.

Jangan-jangan lebih banyak masalah di internal pemerintah sendiri ketimbang isi kontrak. Lalu, renegosiasi jadi alat untuk menutupi salah urus di dalam pemerintah sendiri. Renegosiasi jadi pekikan yang heroik, tetapi mengaburkan substansi permasalahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com