Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belahan Jiwa Wartawan Tiga Zaman

Kompas.com - 22/05/2011, 04:04 WIB

Rosihan kaget (hal 16) ketika dipanggil ”tuwan”, terjemahan kata meneer. Panggilan bung belum populer. Panggilan saudara dianggap bahasa buku. Rosihan memanggil Ida dengan sebutan saudara, bukan nona terjemahan juffrouw. Ada kekagokan, sesuatu yang umum dan manusiawi.

Seolah-olah serba kebetulan, termasuk Rosihan semula bercita-cita jadi jaksa kemudian beralih ke wartawan, pertemuan pertama di Asia Raya merupakan kisah pertama yang pilin-memilin dengan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi seolah-olah serba kebetulan. Membenarkan pernyataan Jakob Oetama, Rosihan itu manusia colourful. Karena tidak dibumbu basa-basi, apa adanya, romantika awal percintaannya menarik. Di antaranya, sehabis menghadiri pesta pernikahan Usmar Ismail dengan Mien (kakak Ida), Rosihan ajak Ida nonton film naik becak dengan kebaya lengkap (hal 21). Dalam kisah percintaan itu muncul nama-nama besar yang menyejarah di negeri ini, tidak hanya tokoh politik tapi juga budaya.

Apakah ranah pengembaraan Rosihan hanya di bidang politik dan budaya? Tidak, meskipun barangkali kedua bidang itulah yang menjadi inklinasi kuat minatnya. Yang jelas, bidang ekonomi jauh dari perhatiannya. Politik karena di masa itu merupakan persoalan yang tidak boleh tidak harus jadi bagian dari keseharian wartawan (eksistensi pers Indonesia awal lahir dari gua garba cita-cita kemerdekaan), sedangkan budaya bagian dari minat intrinsik Rosihan seperti dia tunjukkan dalam kegiatan-kegiatan kulturalnya kemudian.

Buku ini secara tidak langsung telah mengangkat sejumlah keteladanan. Keteladanan kerja keras, tidak mudah puas, kritis, dan senantiasa menggugat. Tidak saja upaya keras dalam merebut hati Ida, terutama kedua orangtuanya, tetapi juga sikap kerja dan semangatnya—yang terus menulis hingga akhir hayat. Keteladanan itu dikisahkan dalam memoar yang niscaya menjadi bahan belajar, tidak saja bagi cara kerja wartawan yang harus all out, tetapi juga sikap kerja omni present—yang bisa diterjemahkan dalam kehadiran fisik tetapi juga psikis dan nurani terhadap kondisi masyarakat dan negara.

Posisinya sebagai wartawan dalam arti sebagai penulis jauh lebih lama dibanding kariernya dalam memimpin media, baik di Asia Raya, Pedoman, maupun Siasat. Tetapi darma baktinya sebagai wartawan yang melebihi 75 tahun tercatat dalam sejarah, termasuk juga aktivitasnya sebagai guru wartawan maupun kegiatan di organisasi PWI dan juga perfilman.

Rosihan penuh warna, wartawan sejati, bersosok jenaka, yang membuat orang jengkel dan di saat lain kemudian merasa akrab. Dan itu membenarkan pernyataan Jakob dalam kata Pengantar, Rosihan ”mempresentasikan profesi jati diri wartawan sebagai panggilan (vocatio), bukan sekadar pekerjaan (job) atau karier (career).

Ya, wartawan tiga zaman itu kini sudah menemui sang ”belahan jiwa” yang pernah jadi istrinya lebih dari 63 tahun.

***

Memoar Tak Bersensor Mang Ayat

• Judul: 65>67: Catatan Acak-Acakan dan Catatan Apa Adanya 
• Penulis: Ayatrohaedi 
• Penerbit: Pustaka Jaya, 2011 
• Tebal: 631 halaman 
• ISBN: 978-979419-370-9

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com