Sebagai contoh, secara radikal militer di negara seperti Pakistan dan beberapa kawasan Timur Tengah lain bakal tidak ragu untuk menyatakan diri merekalah representasi negara. Hal seperti itu juga dianut TNI pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto.
”Waktu ikut Sesko (Sekolah Staf dan Komando) TNI saya lihat, ya, cuma ada tiga kriteria militer dari sejumlah negara peserta saat itu. Salah satunya, ya, yang masih menganggap I am the state (sayalah negara). Saat itu masih zamannya Soeharto, jadi Indonesia, ya, juga termasuk di dalamnya,” ujar Hasanuddin.
Kondisi seperti itulah yang membuatnya semakin tidak yakin jika militer di Timur Tengah bisa menjadi bagian dari perubahan. Apalagi tidak sedikit dari perwira tinggi militer di sana yang juga anggota atau bagian dari keluarga kerajaan atau kesultanan, yang notabene sebagai penguasa absolut di pemerintahan.
Revolusi dan pergantian kekuasaan seperti sekarang terjadi ini diperkirakan bakal kembali berulang paling tidak dalam dua tahun ke depan. Berulang ketika mereka sama-sama jenuh dan melihat demokrasi tidak menghasilkan perbaikan apa-apa.
Akibatnya kemudian, yang muncul tidak lebih dari keinginan untuk ikut berkuasa, jika perlu secara bergiliran. Kondisi serupa bukan tidak mungkin bakal terjadi saat ini di Indonesia, apalagi melihat kecenderungan partai politik yang ada lebih melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa dibagi-bagi.