Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Militer Berperan dalam Revolusi di Timteng

Kompas.com - 29/03/2011, 04:32 WIB

Institusi militer, baik di Tunisia maupun Mesir, diyakini punya peran besar dalam memuluskan gerakan revolusi rakyat menggulingkan rezim penguasa korup dan otoriter, yang berkuasa terlalu lama di kedua negara itu.

Bahkan, dengan mata telanjang pun orang bisa melihat, misalnya, ketika Kepala Staf Angkatan Bersenjata Tunisia Jenderal Rachid Ammar menolak perintah Presiden Zine al-Abidine Ben Ali untuk menembaki para pengunjuk rasa ketika situasi di sana ketika itu semakin memanas.

Ammar berani menolak perintah keji itu, bahkan dia belakangan ”mengusir” Ben Ali dan keluarganya dengan cara memberikan jaminan keselamatan terbang bagi mereka jika bersedia keluar dari Tunisia. Kekuasaan Ben Ali saat itu diyakini memang sudah harus diakhiri jika ingin menyelamatkan Tunisia.

Peran dan sepak terjang serupa diperlihatkan oleh militer Mesir. Pada awalnya mereka sekadar diterjunkan untuk menjaga keselamatan sejumlah obyek vital di sana sepanjang massa unjuk rasa dan gerakan rakyat besar-besaran.

Sejumlah senjata berat dan kendaraan tempur bahkan juga diturunkan, termasuk prajurit militer bersenjata lengkap. Tidak sedikit pula aparat militer yang ditempatkan di sekitar lokasi tempat berkumpul para pengunjuk rasa dan kelompok oposisi anti-Mubarak di Lapangan Tahrir.

Dalam perkembangannya, para tentara dan pengunjuk rasa serta kelompok oposisi kemudian memang saling berinteraksi. Mereka bahkan saling bertukar nomor kontak. Aparat militer malah meminta para pengunjuk rasa dan aktivis oposisi untuk tidak ragu mengontak mereka jika terjadi sesuatu.

Kondisi Mesir yang kacau ditambah sikap agresif massa pendukung Mubarak dan aparat keamanan yang menyamar berpakaian sipil diketahui sangat mengancam keberadaan mereka yang anti-Mubarak. Situasi keamanan di Mesir ketika itu memang berkembang menjadi sangat buruk dengan maraknya penculikan dan kekerasan.

Militer jengah

Sikap militer yang pada awalnya tampak sangat mendukung perjuangan kalangan antipemerintah Mubarak itu sebenarnya terbilang aneh, apalagi mengingat semasa kekuasaan Mubarak, militer sangatlah diuntungkan.

Setiap tahun negara mengalokasikan anggaran pertahanan yang sangat besar, hingga mencapai 6 juta dollar AS, sehingga keberadaan militer selama ini sangatlah tercukupi, baik dalam konteks persenjataan maupun tingkat kesejahteraan.

Militer Mesir bahkan dikenal sebagai kekuatan militer terbesar dan dipersenjatai dengan baik jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Timur Tengah. Belum lagi bantuan negara sekutunya, Amerika Serikat, yang menyokong sedikitnya 1,3 miliar dollar AS untuk pengadaan senjata.

Meski begitu, seperti juga yang dialami masyarakat akar rumput Mesir, kalangan militer telanjur jengah dan mulai sangat terganggu dengan sepak terjang serta perilaku koruptif dari Mubarak beserta kroninya. Militer Mesir tergerak untuk turun tangan ketika kekuasaan pemerintahan di negeri itu sudah teramat represif dan kerap disalahgunakan.

”Saat polisi dan intelijen (Mesir) dipakai untuk melakukan represi, pada saat itu pula rakyat kemudian beralih harapan kepada militer. Militer lalu memilih untuk lebih mendengarkan suara hati dan keluhan rakyat mereka,” ujar Bachtiar, mantan Duta Besar Mesir yang juga pengajar di Universitas Indonesia.

Dari sana kemudian aksi unjuk rasa semakin bergulir dan memuncak. Ditandai oleh hengkangnya Mubarak dari ibu kota Mesir, Kairo, menuju kawasan wisata Sharm el-Sheikh. Setelah itu, pemerintahan dan mandat kekuasaan diserahkan sementara waktu sepanjang masa transisi kepada Dewan Militer.

Belakangan Dewan Militer memfasilitasi sebuah pemilihan umum referendum untuk mengamandemen konstitusi Mesir. Pemilu digelar Sabtu kemarin dengan sembilan poin usulan amandemen yang pada intinya membatasi kekuasaan dan masa jabatan presiden, yang sepanjang Mubarak berkuasa menjadi sangat kuat dan menentukan.

Amankan ”status quo”

Apa yang dilakukan militer di Mesir, termasuk juga di Tunisia, adalah sesuatu yang lazim dan wajar mereka lakukan. Menurut mereka, institusi militer akan selalu memosisikan diri untuk mempertahankan kondisi status quo.

Mereka (militer) akan selalu bersikap konservatif jika hal itu dikaitkan dengan eksistensi dan kelangsungan negaranya. Dengan begitu, sedikit terlalu berlebihan jika orang mengharapkan militer untuk menjadi tokoh pembaru termasuk dalam konteks menggelar revolusi.

Dalam konteks Mesir dan Tunisia, militer lebih bersikap wait and see sekaligus berupaya menjadi safety player. Meski begitu, tidak dapat dimungkiri, mereka akan tetap berposisi berupaya mengamankan betul kelangsungan negaranya.

Sementara itu, sikap yang jauh lebih pesimistis terhadap peran militer justru disuarakan Mayor Jenderal (Purn) Tubagus Hasanuddin, yang ikut menjadi pembicara dalam diskusi terbatas Kompas kali ini. Menurut Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDI-P itu, institusi militer di Timur Tengah masih sangat konservatif.

Sebagai contoh, secara radikal militer di negara seperti Pakistan dan beberapa kawasan Timur Tengah lain bakal tidak ragu untuk menyatakan diri merekalah representasi negara. Hal seperti itu juga dianut TNI pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto.

”Waktu ikut Sesko (Sekolah Staf dan Komando) TNI saya lihat, ya, cuma ada tiga kriteria militer dari sejumlah negara peserta saat itu. Salah satunya, ya, yang masih menganggap I am the state (sayalah negara). Saat itu masih zamannya Soeharto, jadi Indonesia, ya, juga termasuk di dalamnya,” ujar Hasanuddin.

Kondisi seperti itulah yang membuatnya semakin tidak yakin jika militer di Timur Tengah bisa menjadi bagian dari perubahan. Apalagi tidak sedikit dari perwira tinggi militer di sana yang juga anggota atau bagian dari keluarga kerajaan atau kesultanan, yang notabene sebagai penguasa absolut di pemerintahan.

Revolusi dan pergantian kekuasaan seperti sekarang terjadi ini diperkirakan bakal kembali berulang paling tidak dalam dua tahun ke depan. Berulang ketika mereka sama-sama jenuh dan melihat demokrasi tidak menghasilkan perbaikan apa-apa.

Akibatnya kemudian, yang muncul tidak lebih dari keinginan untuk ikut berkuasa, jika perlu secara bergiliran. Kondisi serupa bukan tidak mungkin bakal terjadi saat ini di Indonesia, apalagi melihat kecenderungan partai politik yang ada lebih melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa dibagi-bagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com