Damaskus, Kamis -
Para pelayat bergerak dari Masjid Omari, lokasi unjuk rasa sepekan terakhir, menuju pemakaman di bawah siraman hujan. Sepanjang jalan, mereka berteriak, ”Dengan jiwa kami, dengan darah kami, kami setia kepada martir kami.”
Aktivis hak asasi manusia, Ayman al-Asswad, mengatakan, sedikitnya 100 orang tewas tertembak polisi dalam bentrokan di kota itu, Rabu. Daraa adalah wilayah kesukuan di perbatasan Suriah-Jordania, yang menjadi pusat gerakan prodemokrasi menuntut mundur rezim Presiden Bashar al-Assad.
”Sudah pasti lebih dari 100 orang tewas. Kota ini perlu waktu seminggu untuk menguburkan semua martir itu,” kata Asswad lewat sambungan telepon di Daraa.
Asswad mengatakan, pasukan bersenjata mengepung pengunjuk rasa sebelum menembaki mereka di kota yang berjarak 120 kilometer di selatan ibu kota Damaskus itu. Korban tewas dilaporkan termasuk seorang dokter yang membawa ambulans dan seorang anak perempuan berusia 11 tahun.
Laporan ini tidak dapat dikonfirmasi, tetapi reporter Agence France Presse menyaksikan penembakan secara sporadis di pusat kota Daraa, Rabu. Adapun Buthaina Shaaban, penasihat pers Presiden Assad, mengatakan, korban tewas tidak lebih dari 10 orang.
Suriah, yang masih menggunakan undang-undang darurat tahun 1963 yang melarang unjuk rasa, adalah negara terakhir di Timur Tengah yang dilanda aksi unjuk rasa menentang pemerintah yang telah lama berkuasa.
Unjuk rasa menentang Assad, dan Partai Baath yang sudah berkuasa di Suriah selama 40 tahun, juga muncul di Damaskus, tetapi dapat diredam pemerintah. Daraa, kota berpenduduk 250.000 orang, kemudian muncul sebagai pusat pergerakan antipemerintah.
Pengunjuk rasa, yang belum bisa diidentifikasi asal-usulnya, sepekan terakhir berkumpul Masjid Omari. Pihak pemerintah di Daraa menuding pengunjuk rasa berasal dari kelompok Salafi, cabang radikal dari kelompok Islam Sunni.