Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang di Simpang Jalan Nuklir

Kompas.com - 20/03/2011, 03:13 WIB

Perusahaan listrik Tokyo Electric Power Company menyatakan, jika keadaan ini berlanjut, kawasan Tokyo dan sekitarnya bisa mengalami defisit listrik hingga 10.000 megawatt dalam beberapa bulan ke depan.

Krisis pun tak berhenti di situ. Empat reaktor nuklir di PLTN Fukushima Daiichi di Prefektur Fukushima mengalami kegagalan sistem pendingin, yang membawa risiko meleleh dan meledaknya teras reaktor, menyebarkan awan radioaktif maut ke seluruh Jepang.

Bagi para hibakusha, sebutan bagi para korban yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kabar dari Fukushima itu membangkitkan lagi trauma akan efek radiasi nuklir. ”Hiroshima adalah tempat spesial yang warganya sangat alergi terhadap nuklir karena pernah mengalami langsung efek terburuk radiasi ini. Kami selalu takut terhadap pembangkit listrik nuklir itu, tetapi mereka selalu bilang semua aman,” tutur Keiko Ogura (73), warga Hiroshima yang masih berumur 8 tahun saat bom atom meledak di atas kotanya.

Masaaki Tanabe, seorang hibakusha lain, mengatakan, selama ini warga Jepang terlalu terlena dan dimanjakan listrik yang dihasilkan PLTN sehingga melupakan bahayanya. ”Kami terlalu menikmati gaya hidup yang serba nyaman (berkat listrik) ini. Kami bisa menyalakan pemanas ruangan saat musim dingin dan menyalakan AC saat musim panas. Kami sudah bergantung terlalu banyak dalam mencari kenyamanan. Ini mungkin saatnya untuk berpikir kembali,” ujar Tanabe.

Kunihiko Yamaoka, Wakil Ketua Dewan Redaksi Harian Yomiuri Shimbun di Tokyo, mengatakan, tak pelak lagi, perdebatan tentang pemanfaatan energi nuklir di Jepang akan kembali memanas setelah kondisi pascabencana mulai stabil. ”Selama keselamatan warga bisa dijamin, sebagian besar warga tetap akan mendukung PLTN. Tetapi, dengan semua kecelakaan ini, pasti banyak pendapat yang akan berubah. Yang jelas, jika kondisi saat ini tak segera ketemu jalan keluarnya, gaya hidup yang kami jalani saat ini tak kan lagi bisa dipertahankan,” tutur Yamaoka.

Payung nuklir

Kompas, yang diundang Kementerian Luar Negeri Jepang dalam sebuah program untuk melihat perkembangan program perlucutan senjata nuklir, sepanjang pekan ini, melihat sendiri dilema negara itu terkait energi nuklir. Bukan hanya di sektor kebutuhan energi untuk menggerakkan kehidupan warganya, dilema nuklir Jepang juga terjadi di bidang pertahanan.

Sebagai satu-satunya negara di dunia yang pernah merasakan dihajar bom nuklir, Jepang menjadi negara yang sangat anti terhadap senjata tersebut. Jepang menjadi panglima gerakan perlucutan senjata nuklir global, dan menerapkan tiga prinsip nonnuklir, yakni tidak akan membuat/memproduksi senjata nuklir, tidak akan memiliki senjata nuklir, dan tidak akan mengizinkan senjata nuklir dibawa masuk ke wilayah Jepang untuk alasan apa pun.

Namun, pelaksanaan tiga prinsip ini, terutama prinsip ketiga, ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Bagaimanapun, Jepang masih membutuhkan ”payung nuklir” yang disediakan AS untuk menjamin keamanan nasionalnya.

Apalagi pada saat kawasan Asia Timur saat ini menjadi titik panas baru di dunia. China yang makin agresif dengan kekuatan militer yang terus membesar dan Korea Utara yang sudah dua kali menguji coba bom nuklirnya membuat payung nuklir AS makin dibutuhkan Jepang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com