Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang di Simpang Jalan Nuklir

Kompas.com - 20/03/2011, 03:13 WIB

Dahono Fitrianto

Jalan kehidupan Jepang pada era modern seolah ditentukan oleh nuklir. Energi nuklir pernah menjadi kutukan dan berkah bagi negara yang miskin sumber daya alam itu. Namun, kini saatnya bagi Jepang untuk memilih....

Jepang yang kita kenal setengah abad terakhir adalah Jepang yang berawal dari sebuah tragedi nuklir. Jatuhnya bom atom di Hiroshima, 6 Agustus 1945, dan di Nagasaki, tiga hari kemudian, meluluhlantakkan Kekaisaran Matahari Terbit ini dan menorehkan luka yang teramat mendalam bagi rakyatnya.

Namun, tenaga nuklir pulalah yang mendorong negara tersebut bangkit hingga menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia selama puluhan tahun (sebelum diambil alih China tahun lalu). Pembangkitan listrik dengan tenaga nuklir, yang dilakukan di Jepang sejak awal 1970-an, kini telah menyumbangkan lebih dari 30 persen kebutuhan listrik di negara itu.

Direktur Pusat Informasi dan Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Masaki Tani, mengatakan, dibutuhkan pasokan listrik yang tak akan pernah putus untuk menjamin beroperasinya jaringan kereta bawah tanah hingga kereta api peluru (shinkansen) yang menghubungkan kota-kota utama di Jepang. Listrik pun mutlak diperlukan, mulai dari sekadar untuk menghidupkan mesin penjual minuman otomatis sampai menggerakkan pabrik mobil.

Jepang pun merangkul erat-erat teknologi nuklir sebagai pilihan penyedia listrik yang murah, praktis, dan tak menimbulkan emisi gas rumah kaca. Negara yang luas wilayahnya masih kalah jauh dibandingkan dengan luas Pulau Sumatera itu kini memiliki tak kurang dari 54 reaktor nuklir untuk memenuhi kebutuhan warganya yang sangat haus listrik.

Ketergantungan

Nuklir, yang pernah menunjukkan sisi terburuknya kepada Jepang, berganti rupa menjadi malaikat penyelamat. Namun, itu sebelum gempa berkekuatan 9,0 skala Richter menghantam bagian timur laut Pulau Honshu, pulau utama Jepang, Jumat pekan lalu.

Seketika, beberapa PLTN yang terletak di pantai timur pulau tersebut berhenti beroperasi. Jepang pun langsung kekurangan listrik. Untuk pertama kalinya, negara itu menerapkan pemadaman listrik bergilir di sembilan prefektur di Honshu bagian utara, termasuk wilayah ibu kota Tokyo.

Sebagian kereta api komuter dan jarak jauh pun tak bisa dioperasikan sehingga membuat warga di sekitar Tokyo butuh waktu berjam-jam untuk mencapai kantor mereka di pusat kota. Restoran-restoran tutup lebih awal, hotel-hotel mematikan sebagian lampu lobi dan papan neon mereka, dan Kaisar Akihito beserta seluruh keluarga Kekaisaran menahan diri untuk tak menggunakan Istana Kaisar guna menghemat listrik.

Perusahaan listrik Tokyo Electric Power Company menyatakan, jika keadaan ini berlanjut, kawasan Tokyo dan sekitarnya bisa mengalami defisit listrik hingga 10.000 megawatt dalam beberapa bulan ke depan.

Krisis pun tak berhenti di situ. Empat reaktor nuklir di PLTN Fukushima Daiichi di Prefektur Fukushima mengalami kegagalan sistem pendingin, yang membawa risiko meleleh dan meledaknya teras reaktor, menyebarkan awan radioaktif maut ke seluruh Jepang.

Bagi para hibakusha, sebutan bagi para korban yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kabar dari Fukushima itu membangkitkan lagi trauma akan efek radiasi nuklir. ”Hiroshima adalah tempat spesial yang warganya sangat alergi terhadap nuklir karena pernah mengalami langsung efek terburuk radiasi ini. Kami selalu takut terhadap pembangkit listrik nuklir itu, tetapi mereka selalu bilang semua aman,” tutur Keiko Ogura (73), warga Hiroshima yang masih berumur 8 tahun saat bom atom meledak di atas kotanya.

Masaaki Tanabe, seorang hibakusha lain, mengatakan, selama ini warga Jepang terlalu terlena dan dimanjakan listrik yang dihasilkan PLTN sehingga melupakan bahayanya. ”Kami terlalu menikmati gaya hidup yang serba nyaman (berkat listrik) ini. Kami bisa menyalakan pemanas ruangan saat musim dingin dan menyalakan AC saat musim panas. Kami sudah bergantung terlalu banyak dalam mencari kenyamanan. Ini mungkin saatnya untuk berpikir kembali,” ujar Tanabe.

Kunihiko Yamaoka, Wakil Ketua Dewan Redaksi Harian Yomiuri Shimbun di Tokyo, mengatakan, tak pelak lagi, perdebatan tentang pemanfaatan energi nuklir di Jepang akan kembali memanas setelah kondisi pascabencana mulai stabil. ”Selama keselamatan warga bisa dijamin, sebagian besar warga tetap akan mendukung PLTN. Tetapi, dengan semua kecelakaan ini, pasti banyak pendapat yang akan berubah. Yang jelas, jika kondisi saat ini tak segera ketemu jalan keluarnya, gaya hidup yang kami jalani saat ini tak kan lagi bisa dipertahankan,” tutur Yamaoka.

Payung nuklir

Kompas, yang diundang Kementerian Luar Negeri Jepang dalam sebuah program untuk melihat perkembangan program perlucutan senjata nuklir, sepanjang pekan ini, melihat sendiri dilema negara itu terkait energi nuklir. Bukan hanya di sektor kebutuhan energi untuk menggerakkan kehidupan warganya, dilema nuklir Jepang juga terjadi di bidang pertahanan.

Sebagai satu-satunya negara di dunia yang pernah merasakan dihajar bom nuklir, Jepang menjadi negara yang sangat anti terhadap senjata tersebut. Jepang menjadi panglima gerakan perlucutan senjata nuklir global, dan menerapkan tiga prinsip nonnuklir, yakni tidak akan membuat/memproduksi senjata nuklir, tidak akan memiliki senjata nuklir, dan tidak akan mengizinkan senjata nuklir dibawa masuk ke wilayah Jepang untuk alasan apa pun.

Namun, pelaksanaan tiga prinsip ini, terutama prinsip ketiga, ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Bagaimanapun, Jepang masih membutuhkan ”payung nuklir” yang disediakan AS untuk menjamin keamanan nasionalnya.

Apalagi pada saat kawasan Asia Timur saat ini menjadi titik panas baru di dunia. China yang makin agresif dengan kekuatan militer yang terus membesar dan Korea Utara yang sudah dua kali menguji coba bom nuklirnya membuat payung nuklir AS makin dibutuhkan Jepang.

Dilema ini bisa dilihat dari perbedaan sikap beberapa media utama Jepang saat Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon dan Duta Besar AS untuk Jepang John Roos untuk pertama kali menghadiri Upacara Peringatan Perdamaian Hiroshima, 6 Agustus 2010. Harian Yomiuri Shimbun mengatakan dalam editorialnya, seruan Wali Kota Hiroshima Tadatoshi Akiba agar Pemerintah Jepang menarik diri dari payung nuklir AS dan menetapkan tiga prinsip nonnuklir menjadi undang-undang adalah pernyataan yang jauh dari kenyataan.

Harian tersebut bahkan mendesak, ”Kita harus mempertimbangkan untuk mengizinkan kapal-kapal yang membawa senjata nuklir berlabuh atau melintasi wilayah Jepang agar kemampuan perlindungan AS berfungsi penuh.”

Sebaliknya, harian Asahi Shimbun justru memandang kehadiran Duta Besar Roos sebagai sinyal harapan bahwa pemusnahan senjata nuklir global bisa benar-benar diwujudkan. ”Kita harus menyusun sebuah pemusnahan senjata nuklir dan membuatnya menjadi kebijakan (resmi). Lebih dari itu, kita juga perlu membuat jaringan untuk mengepung (negara-negara) kekuatan nuklir melalui negosiasi diplomatik yang terus menerus,” demikian isi editorial koran itu, 6 Agustus tahun lalu.

Kenyataan terbaru di lapangan sebenarnya tak perlu membuat Jepang berlarut-larut dalam dilema ini. Dari sisi peran pertahanan, Ketua Dewan Pengarah Hiroshima Peace Culture Foundation Steven L Leeper mengatakan, perlucutan senjata nuklir global sudah mendekati keniscayaan bagi negara-negara pemilik senjata nuklir.

”Pilihannya hanya dua, pemusnahan sama sekali semua senjata nuklir di dunia atau membiarkan semua pihak memiliki senjata nuklir,” ujar Leeper. Negara-negara itu jelas tak mungkin memilih pilihan kedua.

Dari sisi kebutuhan energi, pemanfaatan PLTN sudah mulai ditinggalkan oleh negara-negara maju yang lain, seperti Jerman. Kanselir Jerman Angela Merkel, yang ingin memperpanjang masa pakai beberapa PLTN di negara itu, mengatakan, yang terjadi di PLTN Fukushima I membuat segalanya berubah. ”Jika negara dengan teknologi secanggih Jepang saja bisa mengalami apa yang (selama ini dianggap) mustahil terjadi, segalanya berubah,” ujar Merkel di hadapan Parlemen Jerman, Selasa, seperti dikutip AFP.

Merkel menegaskan, Jerman akan segera meninggalkan era nuklir untuk memenuhi kebutuhan energinya dan beralih ke sumber-sumber energi terbarukan.

Dan yang lebih penting lagi bagi Jepang adalah keinginan rakyatnya sendiri. Anak-anak SMA di Nagasaki, yang sudah dua tahun ini menjalankan kampanye pengumpulan 10.000 tanda tangan untuk mendesak perlucutan senjata nuklir dunia, menegaskan, mereka ingin Jepang tak lagi memanfaatkan energi nuklir pada masa depan.

”Kami takut dengan nuklir. Jepang membutuhkan sumber energi baru. Entah bagaimana caranya,” kata Keiji Suzuki (18), siswa SMA Nagasaki West, Kamis (17/3).

Tentu saja, tidak akan mudah bagi Jepang untuk mewujudkan sumber-sumber energi baru itu dalam waktu dekat. Kekurangan pasokan energi akan dirasakan sementara waktu. Namun, kemampuan dan ketangguhan orang-orang Jepang sudah terbukti pada masa lalu, seharusnya bisa membuka lembaran baru, meninggalkan kutukan nuklir untuk selamanya. Jepang adalah negara dengan semangat baja dan akan mengatasi sendiri segala persoalan yang dihadapi secara mandiri. Dunia pun yakin itu akan terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com