Pemerintah Jepang melarang pemanfaatan sumber makanan seperti sayuran atau kebutuhan lain, seperti air, dari wilayah sekitar reaktor nuklir.
Dokter ahli radiologi yang juga Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prijo Sidipratomo, mengatakan, begitu masuk ke tubuh, isotop zat radioaktif akan terdistribusi ke seluruh tubuh. Sebagian mengendap dalam organ atau jaringan tubuh, sebagian keluar melalui urine, feses, dan keringat.
Dampak radiasi bagi kesehatan dapat terjadi secara cepat (akut) maupun lambat (jangka panjang). Menurut Prijo, hal itu tak lepas dari dosis dan lama paparan.
United States Nuclear Regulatory Commission yang dijadikan standar di sejumlah negara mencantumkan, dosis radiasi untuk pengobatan individu maksimal 0,05 Sv (sievert) atau 5 rem per tahun. Paparan radiasi yang terlalu besar menyebabkan mual, diare, dan sakit kepala.
Cemaran radioaktif dapat terakumulasi pada organ tubuh sesuai sifat kimia dan fisikanya. ”Jika tubuh terpapar dosis 350- 450 rem dalam waktu cepat, ada risiko kematian 50 persen dalam waktu 30 hari. Dosis 100 rem dalam waktu lama menyebabkan kerusakan sel yang tak bisa dipulihkan,” kata Prijo.
Radiasi nuklir terhadap sel tubuh yang sehat bisa menjadikan sel tidak normal. As Natio Lasman menyatakan, dengan karakter seperti itu, radiasi nuklir digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. ”Pemanfaatan radiasi nuklir bagi kedokteran tentu harus terukur dan terkendali. Berbeda dengan radiasi nuklir akibat kecelakaan PLTN,” katanya.
Prijo mengatakan, kerusakan sel dapat mengganggu fungsi organ tubuh. ”Tergantung dari bagian mana yang terkontaminasi zat radioaktif. Jika terpapar pada gonad (buah zakar maupun indung telur), dapat terjadi kemandulan. Selain itu, dapat terjadi mutasi sel yang menyebabkan kanker pada organ tubuh maupun darah,” katanya.
Organ yang sensitif terhadap paparan radiasi antara lain kelenjar tiroid, usus, ginjal, limpa, dan sumsum tulang.