KAIRO, KOMPAS.com - Alun-alun Tahrir (Kebebasan) sontak menjadi tempat paling populer. Di sana gerakan massa antirezim Presiden Hosni Mubarak sejak 25 Januari lalu beraksi. Alun-alun itu menjadi sorotan media dari seantero dunia.
Seorang tokoh Mesir bernama Khedive Ismail Pasha, yang membangun Alun-alun Tahrir pada akhir abad ke-19, hanya menginginkan alun-alun yang luas itu sebagai tempat bersantai atau pertemuan penduduk Kairo. Sebab, letaknya hanya sekitar 100 meter dari Sungai Nil.
Alun-alun Tahrir kini seperti sebuah negara dalam negara karena praktis terpisah dari wilayah sekitarnya. Alun-alun Tahrir memiliki delapan pintu masuk yang dijaga ketat aparat dengan tank dan kendaraan lapis baja militer. Siapa pun yang ingin masuk harus menunjukkan kartu identitas.
Memasuki Alun-alun Tahrir pada pagi hari relatif lebih cepat karena terhindar dari antrean panjang massa anti-Mubarak. Masih banyak yang ingin memasuki alun-alun tersebut, terutama warga dari berbagai penjuru kota Kairo.
Namun, jika memasuki alun-alun ini di atas pukul 14.00, pasti terjegal antrean yang sangat panjang. Massa anti-Mubarak memasuki alun-alun itu pada sore dan malam hari.
Di dalam alun-alun kini berdiri puluhan kemah. Para penghuni kemah bertekad tidak akan meninggalkannya sebelum Mubarak mundur. Tidak heran jika di sana banyak pedagang asongan penjaja makanan dan minuman.
Pengunjuk rasa yang tidak ingin keluar dari lokasi tidak perlu pusing soal urusan logistik. Para pedagang asongan menawarkan makanan dan minuman.
Ada pula pengunjuk rasa yang membawa stok makanan dan minuman dari rumah. Jika stok logistik habis, mereka pulang ke rumah untuk mengambil stok makanan dan kembali ke Tahrir.
Para pengunjuk rasa juga menjalankan ibadah. Warga Muslim selalu menjalankan shalat berjemaah lima waktu dari shalat subuh hingga shalat isya. Warga Kristen juga melakukan misa di alun-alun itu.