Ada beberapa tokoh penting ikut dalam kerumunan massa di Kairo. Seorang di antaranya adalah Alaa al-Aswany, penulis buku terlaris Yacoubian Building yang berisi tentang politisi korup, kebrutalan polisi, dan terorisme di Mesir. Menurut dia, demonstrasi adalah kunci utama melawan pemerintah yang otokratik.
Aksi serupa juga digelar di kota lain, seperti Alexandria, Ismailia, Suez, Mansoura, dan Tanta. Seperti di Kairo, massa di kota-kota ini juga terlibat bentrokan dengan aparat. Dalam konfrontasi di Suez, dua demonstran tewas tertembak peluru karet polisi. Massa memprotes akibat kurangnya kebebasan politik di bawah rezim Mubarak.
Seperti protes rakyat Tunisia, seruan untuk demonstrasi di Mesir digerakkan melalui situs jejaring sosial Facebook dan Twitter. Sekitar 90.000 orang menyatakan mendukung aksi unjuk rasa untuk menumbangkan rezim Mubarak. Menjelang Selasa sore, akses ke Twitter telah ditutup, tetapi massa sudah bergerak.
Aksi di Mesir hampir serupa dengan di Tunisia, yang dipicu kematian penjual buah, setelah bakar diri, sebagai protes kepada polisi yang menyita jualannya. Aksi di Mesir akibat kematian pemuda miskin, Khaled Said, tahun lalu, setelah dipukul sepasang polisi di Alexandria. Pada 17 Januari ini, seorang warga miskin juga mencoba membakar dirinya karena tak tahan hidup miskin.
Menurut AP, hampir separuh dari 80 juta warga Mesir hidup miskin. Al-Jazeera menyebutkan, 16 juta warga Mesir berpenghasilan kurang dari dua dollar AS (Rp 18.000) per hari. Banyak warga berpendidikan rendah.