Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpolitik Luar Negeri Tanpa Postur

Kompas.com - 20/12/2010, 16:14 WIB

Jika sikap pengadilan di Belanda yang dijadikan alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk membatalkan kunjungannya, maka kemungkinan besar kunjungannya ke Belanda tidak akan pernah terjadi. Mengingat, setiap kali ia berencana untuk berkunjung ke Belanda, dengan mudah kelompok-kelompok kecil anti-Indonesia dapat membatalkan kunjungan tersebut dengan memasukkan gugatan atau tuntutan ke pengadilan.

Bertolak Belakang

Sikap yang diperlihatkan Presiden Yudhoyono itu bertolak belakang dengan sikap yang diambil Presiden Soeharto sekitar 40 tahun sebelumnya. Pada 1 September 1970, Presiden Soeharto dijadwalkan berkunjung ke Belanda. Pada tanggal 31 Agustus 1970 sore, Menteri Luar Negeri Adam Malik melaporkan kepada Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Menteng, bahwa kediaman resmi Duta Besar Indonesia untuk Belanda Taswin Natadiningrat di Wassenaar, Den Haag, diduduki sekelompok pemuda yang mengaku sebagai kelompok pemuda Ambon. Namun, Taswin dan keluarga dapat meloloskan diri.

Kejadian itu tidak membuat Presiden Soeharto membatalkan kunjungan. Ia hanya menunda kunjungannya selama 24 jam. Pada tanggal 2 September 1970 malam, Presiden Soeharto dan Ny Tien Soeharto beserta 36 anggota rombongan berangkat ke Belanda.

Tanggal 3 September 1970 siang, ketika memasuki wilayah udara Belanda, pesawat terbang yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan disambut delapan pesawat tempur Angkatan Udara Belanda yang mengawal rombongan mendarat di bandara militer Ijpenburg, beberapa kilometer dari Den Haag.

Turun dari pesawat, Presiden Soeharto disambut Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, serta Perdana Menteri De Jong dan anggota kabinetnya. Diiringi dengan dentuman meriam 12 kali. Setelah upacara penyambutan, Presiden Soeharto dan rombongan diterbangkan dengan empat helikopter ke Istana Huis Ten Bosch.

Pada waktu itu Den Haag dinyatakan sebagai kota tertutup. Kendaraan lapis baja ditempatkan di mana-mana, dan sebanyak 4.000 personel polisi dikerahkan. Segala bentuk demonstrasi dilarang. Kegiatan Presiden Soeharto dan rombongan sangat terbatas di dua tempat, yakni di antara wilayah Binnenhof (tempat parlemen) dan Istana Huis Ten Bosch yang berjarak 4 kilometer.

Sempat terjadi aksi demonstrasi oleh sejumlah orang yang mengaku dari RMS, dan polisi menangkap 25 orang. Gedung Kedutaan Besar Indonesia dan Wisma Duta di Wassenaar dikelilingi pagar kawat berduri serta dijaga sejumlah panser dan tentara.

Dengan kunjungannya ke Belanda itu, Presiden Soeharto ingin menunjukkan bahwa ia tidak dapat digertak oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan RMS, kelompok separatis yang sudah ditumpas Pemerintah Indonesia pada tahun 1960-an.

Situasi serupa ditunjukkan Presiden Soeharto pada saat ia memutuskan untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Manila, Filipina, 14-15 Desember 1987. Keputusan itu diambil Presiden Soeharto pada bulan Oktober 1987, pada saat Kolonel Gregorio Honasan, pemimpin usaha kudeta berdarah tanggal 28 Agustus 1987, yang berada di pelarian, mengancam akan mengacaukan KTT ASEAN.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com