Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Realitas Nirwana, Suatu Ketika

Kompas.com - 17/12/2010, 05:05 WIB

Oleh Maria Hartiningsih 

Sisa hujan deras masih terlihat dari genangan air di beberapa bagian jalan dari Ninoy Aquino International Airport menuju Shangri-La Edsa, Metro Manila, tak jauh dari jantung kawasan bisnis Makati. Perjalanan 30 menit molor menjadi 3,5 jam. 

Namun, perjalanan yang menyita waktu sama dengan penerbangan Singapura-Manila itu menyuguhi banyak informasi. Memasuki wilayah Pasay, Edsa, pukul 20.30, degup kehidupan malam mulai terasa. Kegiatan di karaoke bar, diskotik, dan panti pijat tampak mencolok. ”Ini adalah salah satu red district di Manila,” ujar Jun, sopir kami.

Ketika Alfredo Lim menjadi Wali Kota Manila (1992-1998), ia menutup semua tempat hiburan malam di Manila untuk memberantas peredaran narkoba. Namun, kata Joy Salgado, Koordinator Program Advokasi Pusat Kesehatan Perempuan, Likhaan, go go bar, diskotik, dan panti pijat terus berkembang dan pemerintah kota menarik pajaknya.

Alfredo digantikan oleh Lito Atienza (1998-2007) yang menutup semua klinik yang memberi pelayanan kesehatan reproduksi di Manila, melarang kontrasepsi artifisial—termasuk kondom—atas nama moral dan agama, dan meneror aktivis yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi. Pada pemilihan tahun 2007 dan tahun 2010, Alfredo Lim kembali terpilih menjadi Wali Kota Manila.

Jebakan kemiskinan

Kondisi ekonomi yang sulit dan lapangan kerja yang sempit membuat banyak orang putus asa dan mencari jalan pintas. ”Banyak perempuan terpaksa memasuki industri seks komersial,” ujar Lena Bacalando, pekerja sosial di klinik kesehatan perempuan di Paradise Village, Malabon, sebelah utara Metro Manila. Dia adalah Ketua Mothers, perkumpulan ibu, dengan 1.300 anggota.

Paradise Village adalah sebuah kawasan kumuh dengan tingkat kepadatan tinggi. Menurut Lina, rata-rata keluarga mempunyai tiga-empat anak, tetapi banyak juga keluarga dengan tujuh sampai 12 anak.

Laporan Komisi Kependudukan (Popcom) tahun 2000 menyatakan, tekanan untuk punya banyak anak dilakukan oleh suami karena jumlah anak dipandang sebagai bukti kejantanan. Laki-laki cenderung menganggap kontrasepsi buatan tak bisa diterima secara sosial dan meyakini kontrasepsi nonalami itu lebih berbahaya dibandingkan dengan kehamilan.

Kawasan yang selalu terendam air kalau laut pasang itu adalah gambaran jelas yang menghubungkan kemiskinan dan jumlah anak. Keterangan Lina tentang masalah kehamilan remaja di situ membuat semakin sulitnya memutus rantai kemiskinan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com